Sabtu, 26 November 2016

My Life in Jakarta


Di senja malam minggu ini, aku ditemani musik radio dengan penyiarnya yang berusaha asik agar pendengarnya tidak pindah ke lain chanel. Kali ini aku mencoba menceritakan tentang kehidupanku di metropolitan. Seberapa megahnya kota ini, aku seperti enggan menjadi budak kemajuan yang merupakan kesenangan yang semu. Disini aku justru belajar mengenai kesederhanaan, dengan seminimal mungkin menikmati kesenangan kota. Aku bahkan jarang sekali merasakan kemacetan ibukota yang membuat orang menjadi tidak manusiawi, mereka dengan mudah mengeluarkan kata-kata kotor kepada sesama pengendara, “Goblok lu, punya mata kagak!” atau “Anjing, bisa lihat gak lu!” dan umpatan-umpatan lainnya yang kata temen saya, “Semua isi kebun binatang keluar.” Kita kadang tidak sadar, bahwa kita sudah menjadi hal buruk. Apalah daya, manusia memang sulit menyadari kesalahannya, justru mudah sekali menyalah-nyalahkan orang lain.

Jangan mengira aku merasa menderita di kota ini, justru aku dapatkan nikmat yang tak terkira dari-Nya. Cukup dengan beribadah dan istirahat di kasur -yang tingkat ketebalan dan keempukan jauh dari yang ada dirumah-, aku sudah bisa merasakan bahagia, karena kunci kebahagian bukan dari faktor luar, tapi dari dalam hati. Alih-alih sebagai anak muda yang keluar dari kerangkeng orang tua, justru disini aku sulit sekali diajak pergi yang intinya menghabiskan uang dan mencari pengakuan sebagai “anak gaul”. Tak tahu lah, aku selalu berorientasi ke manfaat, jika tidak ada manfaatnya maka aku tidak pergi. Aku juga jarang merencanakan liburan karena hidup juga tidak akan hancur jika kamu tidak tahu banyak tempat. Cukup tiket pulang pergi ke rumah saja aku sudah merasa cukup.

Mahalnya biaya nongkrong yang intinya menjalin ikatan tali silaturahmi(atau mungkin gaya-gayaan sambil upload foto makanan atau uniknya tempat) memang wajar, karena hal tersebut istimewa. Entah, tujuan orang tersebut apa, aku tidak peduli, toh pertangung jawaban hati yang baik maupun kotor pada penciptaNya. Jadi, jangan suka menebak nebak niat orang, jangan menjudge perbuatan orang lain, karena kamu tidak akan bisa menyelam ke dasar hatinya. Jadi, angab saja itu untuk menyambung tali silaturahmi yang dapat mendatangkan rahmat, rejeki dariNya. Wajar kan mahal, wong untungnya juga banyak jika dia melakukan itu dengan ikhlas mengharap ridho Alloh.

Aku belajar banyak tentang keterbatasan. Selalu ada keterbatasan untuk memenuhi keinginan manusia. Entah apa yang orang pikirkan, tetaplah fokus terhadap apa yang kamu yakini. Satu orangpun tak ada yang bisa mengerti kamu seutuhnya. Hanya dirimu yang mengerti kamu, kamu paksakan sekeras apapun, orang tidak akan sempurna mengerti dirimu. Yang bisa dilakukan adalah selalu berusaha menerima dan mengerti. Usaha itu tidak selalu berhasil, ada kalanya gagal.

Aku disini juga mendapat pelajaran baru. Jangan sampai diri ini mengangu orang lain, dengan ketawa keras, ngobrol keras, dsb. Aku selalu berusaha menghormati kenyamanan orang lain. Di kampung halamanku, hampir semua orang memaklumi apapun yang dilakukan, mau ngobrol, cerita keras-keras pada malam hari, tidak ada yang marah. Kami selalu memaklumi dan tidak berfikir merusak persaudaraan dengan adanya konflik tersebut. Akan tetapi, disini berbeda, karena orangnya banyak, maka kita harus menjaga agar tidak mengangu orang lain, atau mau dimarahi karena kesalahan kita sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar