Di senja malam minggu ini, aku
ditemani musik radio dengan penyiarnya yang berusaha asik agar pendengarnya
tidak pindah ke lain chanel. Kali ini aku mencoba menceritakan tentang
kehidupanku di metropolitan. Seberapa megahnya kota ini, aku seperti enggan
menjadi budak kemajuan yang merupakan kesenangan yang semu. Disini aku justru
belajar mengenai kesederhanaan, dengan seminimal mungkin menikmati kesenangan
kota. Aku bahkan jarang sekali merasakan kemacetan ibukota yang membuat orang
menjadi tidak manusiawi, mereka dengan mudah mengeluarkan kata-kata kotor
kepada sesama pengendara, “Goblok lu, punya mata kagak!” atau “Anjing, bisa
lihat gak lu!” dan umpatan-umpatan lainnya yang kata temen saya, “Semua isi
kebun binatang keluar.” Kita kadang tidak sadar, bahwa kita sudah menjadi hal
buruk. Apalah daya, manusia memang sulit menyadari kesalahannya, justru mudah
sekali menyalah-nyalahkan orang lain.
Jangan mengira aku merasa menderita
di kota ini, justru aku dapatkan nikmat yang tak terkira dari-Nya. Cukup dengan
beribadah dan istirahat di kasur -yang tingkat ketebalan dan keempukan jauh dari yang ada dirumah-, aku sudah bisa merasakan
bahagia, karena kunci kebahagian bukan dari faktor luar, tapi dari dalam hati.
Alih-alih sebagai anak muda yang keluar dari kerangkeng orang tua, justru
disini aku sulit sekali diajak pergi yang intinya menghabiskan uang dan mencari
pengakuan sebagai “anak gaul”. Tak tahu lah, aku selalu berorientasi ke
manfaat, jika tidak ada manfaatnya maka aku tidak pergi. Aku juga jarang
merencanakan liburan karena hidup juga tidak akan hancur jika kamu tidak tahu
banyak tempat. Cukup tiket pulang pergi ke rumah saja aku sudah merasa cukup.
Mahalnya biaya nongkrong yang intinya
menjalin ikatan tali silaturahmi(atau mungkin gaya-gayaan sambil upload foto
makanan atau uniknya tempat) memang wajar, karena hal tersebut istimewa. Entah,
tujuan orang tersebut apa, aku tidak peduli, toh pertangung jawaban hati yang
baik maupun kotor pada penciptaNya. Jadi, jangan suka menebak nebak niat orang,
jangan menjudge perbuatan orang lain, karena kamu tidak akan bisa menyelam ke
dasar hatinya. Jadi, angab saja itu untuk menyambung tali silaturahmi yang
dapat mendatangkan rahmat, rejeki dariNya. Wajar kan mahal, wong untungnya juga banyak jika dia melakukan
itu dengan ikhlas mengharap ridho Alloh.
Aku belajar banyak tentang
keterbatasan. Selalu ada keterbatasan untuk memenuhi keinginan manusia. Entah apa
yang orang pikirkan, tetaplah fokus terhadap apa yang kamu yakini. Satu
orangpun tak ada yang bisa mengerti kamu seutuhnya. Hanya dirimu yang mengerti
kamu, kamu paksakan sekeras apapun, orang tidak akan sempurna mengerti dirimu.
Yang bisa dilakukan adalah selalu berusaha menerima dan mengerti. Usaha itu
tidak selalu berhasil, ada kalanya gagal.
Aku disini juga mendapat pelajaran
baru. Jangan sampai diri ini mengangu orang lain, dengan ketawa keras, ngobrol
keras, dsb. Aku selalu berusaha menghormati kenyamanan orang lain. Di kampung
halamanku, hampir semua orang memaklumi apapun yang dilakukan, mau ngobrol,
cerita keras-keras pada malam hari, tidak ada yang marah. Kami selalu memaklumi
dan tidak berfikir merusak persaudaraan dengan adanya konflik tersebut. Akan
tetapi, disini berbeda, karena orangnya banyak, maka kita harus menjaga agar
tidak mengangu orang lain, atau mau dimarahi karena kesalahan kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar