Dalam heningnya pagi ketika waktu menunjukkan pukul 02.01, sebuah pertanyaan yang mengubah segalanya. Satu kalimat yang beranak pinak menjadi beratus-ratus kata. Perjuangan yang kini terlihat ujungnya. Keraguan yang kini tuntas berwarna. Ketidakpastian yang menemui keputusan. Mari kita dengarkan..
Kamu: “Gimana sih sebenarnya aku dalam hidupmu?”
Aku: Tertegun, beberapa menit diam, berfikir, darimana
cerita panjang ini dimulai. Oke baik, aku mulai. “Kala itu, sayu-sayu pagi, aku
mencoba memahami keadaan. Bagaikan burung baru berlatih terbang untuk pertama
kalinya, aku memasuki gerbang sekolah. Masih tertatih-tatih terbang, naik, turun
lagi, tertabrak ranting, melambung lagi, masih terus seperti itu. Sambil mengatur
nafas, gugup yang dirasa menghadapi dunia yang ternyata lebih luas dari ruangan
disangkarku. Dalam keadaan seperti itulah aku mulai mengenalmu.
Seperti kataku diawal tadi, aku masih berfokus pada diri yang baru berlatih terbang. aku dan kamu tiba-tiba terjebak oleh chemistri. Waktu
dilalui, langit berganti, musim baru menanti, aku dan kamu masih tetap berusaha
menjebakan diri dalam chemistri. Tidak ada rintangan berarti dalam bingkai kita,
namun aku masih tertiup angin kesana sini. Kulihat dirimu santai sekali dengan
angin, malah memanfaatkan angin itu untuk membawa kemana kamu inginkan. Dalam keadaan
seperti itu kamu penasaran gak aku berfikir gimana? Bahagia. Melihatmu terbang
tinggi kemanapun kamu mau walaupun keadaanku masih terombang ambing. Begitulah
selalu diriku jika itu tentang kamu.
Dengan keadaan kita yang berbeda tersebut, aku mulai
berusaha memperbaiki semuanya. Hati, fikiran, kekuatan, aku maksimalkan agar
bisa terbang stabil. Hari berganti minggu, minggu beralih bulan, bulan berubah
tahun, lalu tahun saling susul menyusul, aku mulai bisa mengendalikan diri
dalam angin. Lalu aku mencoba berbicara kembali denganmu, mencoba terus
memanggilmu, ‘heeyyyy, what do you feel right now’ ‘heeyyy, do you live your
life’ berteriak-teriak, tidak peduli yang lain tau. Kamu pasti tau kenapa harus
berteriak, karena aku sudah tidak tau lagi bagaimana dirimu, kudengar manusia
saling meneriaki saat posisi hati mereka jauh.
Aku terus mendongak keatas berusaha memahamimu. Seperti
katamu, yang kulihat dulu, kamu selalu santai dalam angin kencang,
ternyata salah. Ada banyak keraguan dalam dirimu. Ada banyak pertanyaan dalam
fikiranmu. Ada banyak hal yang ingin segera kamu capai sehingga kamu tidak peduli
betapa kencang angin menerpa tubuhmu. Terus saja kamu hidup dalam fikiran dan
semua hal yang ingin kamu capai. Lagi, aku berusaha merasakan menjadi dirimu. Ternyata,
kamu masih hidup dalam dunia itu. Aku mencoba menawarimu barangkali ingin
berada dalam ritmeku yang stabil sehingga chemistri yang dulu menjebak, bisa
kita jebak lagi. Fikirku mungkin kita bisa teruskan chemistri hingga dipanggil
bumi. Namun, tidak bisa, kamu masih hidup dalam fikiran dan targetmu sendiri.
Sepertinya aku terlalu lama membuat diriku terbang stabil. Setelah
bisa berfikir dengan jernih dalam keadaan itu, ternyata semua tidak sesuai dengan yang
aku rencanakan. Aku tidak mau menjebak jika kamu tidak mau terjebak bersama. Untuk
apa? Akan sulit bagiku, apalagi bagimu. Kita yang terpisah menjadi ‘aku.’ ‘kamu.’
Biarlah aku menemui takdirku dan begitupun denganmu. Aku dengan terbangku yang
stabil. Kamu dengan terbangmu yang tinggi dan menawan.
Sudah. Aku menyerah.”
Sebuah percakapan itu selesai. Beberapa purnama berlalu, aku tersenyum
simpul saat berpapasan denganmu waktu menuju MRT. Lalu kita berjalan dengan
arah berlawanan. Berganti menjadi cerita manusia-manusia lain yang juga sama
penting keberadaannya, sama penting perasaannya, sama penting kehidupannya.
End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar