twitter.com |
Aku? Siapa sebenarnya aku ini? Apa yang ada dalam
hidupmu? Berbagai pertanyaan muncul menghantui setiap detik dalam hidupku
berhari-hari ini. Setelah kejadian di kelas pelajaran sejarah, aku benar-benar
marah dan tidak terima atas perkataan guru sejarah. Nama beliau adalah Pak
Rahmadi. Beliau berhasil menghancurkan moodku
yang selama ini baik-baik saja, aku menjadi krisis jati diri, aku tidak
mengenali lagi siapa diriku ini sekarang. Akan ku ceritakan tentang “aku” yang
sebelumnya, orang memangilku “ki”, aku masuk deretan cewek cantik dikelas,
hingga cowok terpintar di kelaskupun menyukaiku. Aku juga disukai hampir semua
guru apalagi guru matematika. Aku mendapat nilai terbaik di kelas karena beliau
melihat penalaranku tentang matematika terbaik di kelas. Sampai beliau
memamerkan aku di depan kelas lain, seperti menjadikan aku asistennya, beliau
menyuruhku membawakan sesuatu ke kelas lain saat mau ngajar.
Hidupku sebelumnya baik-baik saja, berjalan lancar dan
tidak ada kegundahan. Aku jalani semua aktivitas dengan senang. Ketawa dengan
keras saat bermain bersama teman-teman. Kami menikmati hari-hari bersama
sebelum menjadi dewasa. Kami sama-sama tahu bahwa menjadi dewasa akan mengubah
semua menjadi lebih rumit dan menghadapi banyak sekali masalah. Di dalam kelas,
di kursi depan kelas, di bawah pohon, di kantin, di lapangan, asalkan itu
bersama mereka semua akan menjadi luar biasa. Walaupun kita suka marah
berlebihan pada hal kecil yang kami tidak suka, toh kita masih 14th, tidak
masalah untuk membuat kesalahan.
Kata orang remaja adalah saatnya mencari jati diri. Kami
lebih berani mencoba hal baru dan tidak berfikir panjang untuk menentukan
keputusan. Kami mudah berubah-ubah pendirian karena kita masih mencari mana
yang sesungguhnya benar. Kami sebenarnya belum terlalu dewasa, tapi orang
berfikiran kami ini sudah bisa membawa diri, lalu mereka melepaskan kami,
padahal sesungguhnya kami ini perlu untuk di arahkan, perlu dilarang.
Kembali lagi ke pelajaran sejarah, saat itu aku duduk di
kursi depan, pas didepan meja guru. Pelajaran sejarah memang asik karena Pak
Guru menyampaikan dengan menarik, tidak hanya soal menghafal tapi kita di buat
berfikir mengapa kejadian itu berlangsung dan apa hikmah dibalik kejadian
tersebut. Dengan wajah kami yang antusias, pak guru masuk ke dalam kelas dengan
wajah sumringah pula. Kami tahu beliau sangat religius sekali, terlihat dari
cara berpakaian dan cara berbicara beliau. Tidak seperti biasanya beliau
bertanya apakah semua di sini orang Islam, lalu serepak kami jawab “iyaaa.”
Sebenarnya pelajaran belum dimulai, karena belum diawali dengan doa. Kami masih
ngobrol sendiri dengan teman membicarakan kejadian penting menurut versi kami,
mungkin untuk versi orang dewasa itu sangat tidak penting, seperti menceritakan
mimpi semalam, dsb. Lalu tiba-tiba Pak Guru menanyaiku, “Kamu orang islam ki?”
Saya menjawab dengan wajah sumringah dan antusias, “Iya pak.” Memang itu ciri
khasku, menyenangkan jika diajak bicara orang, karena aku sangat menghormati
setiap lawan bicara. Lalu dengan wajah serius beliau bilang, “Ah, gak mungkin,
wajahmu gak kelihatan islam-islamnya. Yakin kamu?” Aku mulai merasa heran
dengan respon beliau, “Iya pak bener, gak bohong.” Aku kira percakapan itu
usai, sambil buka-buka buku pelajaran, beliau menjawab lagi, “ Enggak ah, dari
awal pertama saya melihatmu, kamu sepertinya bukan orang Islam.” Aku disitu
merasa terpojokan, ini udah ngomong jujur, tapi beliau tidak percaya, kenapa
sih emang kalau aku ini orang islam, apa aku gak pantas jadi orang islam.
Sedikit nada kesal saya menjawab, “ Maksudnya gimana pak? Saya gak ngerti sama
sekali.” Lalu dengan ciri khas wajah tenang beliau, “ Tidak gimana-gimana ki.
Ya sudah.” Setelah beliau menjawab pertanyaanku, pelajaran dimulai dengan
diawali doa yang dipimpin oleh ketua kelas.
Pada
jam tersebut aku merasa tidak dihargai, karena sudah menyampaikan yang
sebenarnya tapi sama sekali tidak dipercaya. Aku banyak melamun saat pelajaran,
mengapa Pak Guru yang sangat baik dan masuk dalam deretan guru favoriteku sampai tidak mempercayaiku.
Apa yang salah dengan diriku ini? Siapa sebenarnya aku ini? Jangan-jangan benar
apa yang dikatakan beliau, bahwa aku bukan orang islam. Sungguh, banyak sekali
pertanyaan yang menghantuiku beberapa hari setelahnya. Aku bingung mau cerita
ke siapa. Mau cerita ke orang tua ya tidak mungkin, beliau sangat sibuk dengan
pekerjaannya. Mau cerita ke guru ngaji waktu sd kelas 2 ya gak mungkin, karena
beliau sudah menikah dan pindah di pinggiran kota. Akhirnya aku pendam sampai
beberapa hari, yang biasanya aku gabung dengan teman-teman yang lain, kali ini
aku menghindar dari mereka, duduk di paling pojok dan selalu membawa novel biar
dikira sibuk. Sebenarnya novel tersebut tidak aku baca, hanya aku lihat dengan
pandangan kosong. Dan memakai headset, padahal gak ada musik yang diputar di
handphone.
Beberapa
hari kujalani dengan krisis percaya diri. Sore itu di depan ruang kesiswaan aku
terlihat sendiri dan tukang kebun yang sangat baik dan dekat denganku
menghampiriku. By the way, aku aktif dalam kepengurusan osis jadi waktunya
banyak di sekolah, dan sering berhubungan dengan guru maupun karyawan sekolah,
makanya kenal dekat dengan mereka. Walaupun cuma sebagai tukang kebun, tapi
rejeki beliau luar biasa banyak sehingga dapat pergi menunaikan ibadah haji.
Beliau suka mengenakan kaus putih, celana kain longgar, dan kopiah putih,
dengan postur badan yang tinggi dan sedikit gemuk.
“Kenapa
nduk kok melamun di luar sendiri? Itu
temen-temennya baru diskusi didalam?” tanya pak tukang kebun, yang aslinya
pakai bahasa jawa, nadanya rendah dan enak didengar telingga.
Dengan
malas aku menjawab, “baru pusing nih pak, hehe.”
“La
kok pusing itu kenapa ki ? Ada masalah? Crita lah sama saya, siapa tau bisa
dibantu.”
“Hmm,
okelah aku cerita, 5 hari yang lalu, aku dibilang bukan orang islam sama Pak
Rahmadi. Kira-kira kenapa ya pak? Padahal saya sudah jelaskan tapi beliau
seakan tidak percaya gitu.” Ceritaku tanpa ragu.
“Yah,
saya coba kasih pendapat ya nduk. Ini belum tentu bener lo ya. Kan ilmu saya
masih sedikit, hehe(ketawanya yang renyah, tidak terlalu keras, dan hanya
beberapa detik). Setau saya nih ya ki, orang islam itu sebenernya bisa dilihat
dari mukanya. Kalau orang yang sering wudhu itu mukanya terlihat bersinar.
Seperti ada cahaya gitu, gak kusem. Itu yang bisa lihat ya cuma beberapa orang
aja. Banyak orang yang gak merperhatikan. Kalau Bapak sih gak terlalu bisa
melihat jelas. Ya wallahu’alam lah ki.”
“Oo,
gitu ya pak.” Belum sempat saya melanjutkan percakapan. Ketua osis memangilku
untuk diajak diskusi mengenai acara tahunan sekolah kami. Sebenarnya aku sangat
terperanjat. Analisa Pak Rahmadi dan Pak Tukang Kebun ini kok bisa tepat tanpa
error sedikitpun. Aku menjadi semakin kaget, bingung dan sedih tentunya. Yaa,
sejak aku lulus dari SD, orang tuaku sangat sibuk, padahal biasanya mereka yang
mengawasiku shalat. Mereka memberi bekal agama yang cukup untukku, seperti
private mengaji, mengajari shalat,dsb. Akan tetapi, setiap di telepon orang
tua, walaupun gak sering, aku selalu ditanya, “sudah shalat belum?” Aku hanya
menjawab, “belum, ntar lagi.” Lalu mereka berpesan panjang lebar seperti jaga
kesehatan, jaga makan bergizi, dsb.
Setelah
rapat usai, aku langsung pulang tanpa ngobrol dan basa-basi dengan teman. Lalu,
aku merenung di kamar hingga waktu magrib tiba. Aku merenungi apa sih yang
kurang dari diriku ini? sepertinya ada yang kurang lengkap, lalu tujuanku hidup
di dunia ini apa? Maklum aku orangnya perfect. Apa-apa harus sempurna dan
beralasan, nah kalau orang melihat wajahku tidak bercahaya, itu sangat
menghantamku. Lalu, aku putuskan untuk mulai sekarang shalat. Karena sudah 2
tahun lebih jarang sekali shalat, aku lupa bacaan shalat. Mulailah kucari-cari buku
bacaan shalat waktu aku kecil. Aku langsung menuju gudang dan mencari buku itu
didalam tumpukan kardus-kardus buku yang sudah tidak terpakai.
Aku
mulai menghafal lagi bagian-bagian yang lupa, lalu shalatlah aku. Di awal
shalatku ini aku masih datar, tidak seutuhnya menghadirkan hati. Karena
pertanyaan-pertanyaan tentang hidup belum bisa aku dapatkan jawabannya, aku
jadi tidak fokus, limbung. Berganti hari, sorenya aku berangkat senam di
sanggar senam ternama dikotaku, sebenarnya aku disitu bukan hanya untuk senam
saja, tapi aku belajar mengenai senam agar bisa menjadi instruktur. Aku
mendapat instruktur senam yang baru, dan wow, setelah dia selesai dan ingin
pulang, dia pakai kerudung, maklum saat senam hanya cewek saja, jadi dia lepas
kerudungnya. Pemandangan yang sangat baru untukku, karena instruktur senam
sebelum-sebelumnya pakai pakaian modist dan sexy. Karena dia terlihat seperti
masih muda, aku mengajak berkenalan. Dia adalah mahasiswi di universitas islam
di kotaku. Lalu, dia mengajakku makan bersama di cafe yang jaraknya tidak jauh
dari sanggar senam.
Aku
tidak cangung ketika ngobrol dengan orang yang lebih dewasa, karena sebenarnya
dengan teman sepantaranku, aku lebih sering ngemong
(mengayomi). Jadi wajarlah obrolan kami begitu panjang. Tidak bisa
dipungkiri pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan ibadah terus menghantuiku.
Lalu, aku dengan hati-hati bertanya ke Mbak Ane. Mbak Ane menjawab dengan
penalaran yang keren, alasan kita hidup dan diciptakan adalah untuk beribadah.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS.51:56 ), akan tetapi
sebenarnya kita yang membutuhkan ibadah dan Allah SWT, bukan sebaliknya. Misal
kita manusia semua dzolim dan tidak mau beribadah, dengan mudah Allah akan
mengganti dengan makhluk lain yang lebih baik. Itu sangat mudah dilakukan Allah
yang merupakan Sang Pencipta alam semesta seisi-isinya. Luar biasa, saat
mendengarkan jawaban Mbak Ane aku hanya speechless,
kaku, membatu karena perasaan dan otakku bekerja bareng-bareng untuk mencerna
setiap kata Mbak Ane. Setelah shalat magrib bersama, maka aku bergegas pulang,
tidak lupa minta nomer hp Mbak Ane dong, hehe. Mbak Ane ini teman yang pas
sekali untuk curhat dan bertanya segala hal, karena beliau tidak pernah
menghakimi dan menguruiku. Dia tetap respect
ke aku yang masih baru dalam islam dan belum berjilbab sepertinya. Bahkan,
suatu saat dia memuji penampilanku karena beliau mengenaliku, aku orangnya suka
di apresiasi.
Hari
berganti hari, aku mulai belajar tentang Islam melalui buku, pengajian, dan
Mbak Ane. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru tentang Islam yang aku dapatkan.
Aku mulai aktif mengikuti pengajian di kotaku. Sampai suatu saat ada yang
membuatku lebih bersemangat. Sore itu hujan turun dengan deras, saat aku pulang
dari pengajian di masjid besar di kotaku, aku di halte menunggu bis. Tiba-tiba
seseorang berpostur tinggi, badannya agak berisi, berkulit coklat tapi cenderung
ke kuning duduk didekatku. Dia memulai percakapan dengan bertanya,” mau kemana
mbak?” Dia bilang bahwa dia sering melihatku di halte ini. Memang mukanya gak
asing sih buatku. Tidak lama kemudian, bis jurusan rumahku datang. Yey,
alhamdulillah pulang juga, tak lupa melambaikan tangan ke orang tadi.
Di
perjalanan pulang, hp berbunyi ada permintaan teman di akun sosmed. Ting! Aku
buka dan “terima”. Lalu ada pesan masuk, “hai mbak! Saya yang di halte tadi.
Salam kenal mbak.” Aku penasaran tuh orang tau dari mana ya akun sosmedku. Aku
diam dan berfikir sejenak, waah iyaa aku tadi menyebutkan nama lengkap. Dia
mungkin ngetik di pencarian lalu nemu deh. Aku tidak menjawabnya sampai
berganti hari ada pesan masuk lagi, “ Mbak kemarin dari pengajian ya? Itu
jadwalnya tiap hari apa ya mbak?” Kali ini aku menjawab, “ Tiap hari Rabu sama
Sabtu mas.” Setelah itu aku buka akun sosmednya, ternyata dia baru saja pindah
ke sini sebulan yang lalu. Pantesan tuh orang gak tau, aku aja yang lahir dan
besar disini taunya juga seminggu yang lalu.
Akhirnya
hari sabtu juga, saatnya libur. Tak lupa ke pengajian juga, di halte aku ketemu
masnya lagi. Dia menghampiriku, dan percakapan kami lebih panjang kali ini. Dia
sekolah kelas 1 SMA. Kita ternyata punya hobi yang sama yaitu baca buku,
khususnya novel. Pasti jika ketemu orang yang hobinya sama gini, janjian
tukeran koleksi novel. Ternyata Mas Kevin temennya Mbak Ane, mereka ngajar anak
anak kecil di kelas terbuka di kampung belakang masjid setiap hari. Mereka ikut
organisasi volunteer di kota kami. Karena aku terlihat antusias Mas Kevin
sering ngajak aku buat bantuin ngajarin anak-anak itu, apalagi ada Mbak Ane. Kita
bertiga jadi dekat dan sering makan bareng. Ternyata berbagi itu indah sekali.
Setiap rabu dan sabtu kami juga ikut pengajian bareng dan di halte ketemu dan
ngobrol terus.
Hari
berlalu begitu cepat, aku mulai memperbaiki cara berpakaianku. Berkat hidayah
Allah melalui Mbak Ane dan teman-temanku, aku yakin berjilbab. Seiring dengan
itu aku mulai gamang tentang kedekatanku dengan Mas Kevin. Sepertinya dia juga
sama, karena hari ini materi pengajian kami tentang batasan antara laki-laki
dan perempuan dalam Islam. Memang aneh rasanya dia duduk tidak jauh dari
tempatku duduk, tetapi tidak ngobrol sama sekali. Aku membayangkan 4 bulan
lalu, dia menghampiriku, dan mulai saat itu kami dekat. Sepertinya kami saling
merasa bahwa kami ini sebenarnya saling menyukai satu sama lain, dengan itu
kami jadi saling menjaga jarak.
Setelah
hari teraneh itu, jika aku dan Mas Kevin ketemu di halte, hanya melemparkan
senyum atau hanya ada 1 pertanyaan, “Mau pulang ki?” jawabku cuma singkat juga,
“Iya Mas.” Aku sekarang lebih dekat kepada Mbak Ane, semakin hari kami semakin
mengingatkan satu sama lain. Mbak Ane yang dulunya masih suka pakai jilbab
polos yang sedikit nerawang, karena aku sering ingatkan, “Didobel mbak.” Saat
ini dia sudah pakai jilbab yang gak nerawang lagi. Dia juga memberi tahuku
bahwa tidak boleh pakai jeans karena membentuk tubuh. Dan pelajaran-pelajaran
lain yang kita saling berbagi satu sama lain.
Aku
tidak sengaja berpapasan dengan Pak Rahmadi di depan kantin. Dengan rasa hormat
dan sopan aku menyapa beliau. Melalui beliau, Allah SWT menegurku dan
menyadarkanku bahwa aku sudah salah arah. Beliau sering mengatakan jika kita
bertemu, “Semakin cantik aja ki. Hehehe.” Aku tahu maksud beliau adalah mukaku
sudah sedikit bercahaya karena sering wudhu. Hmm, dimanapun Bapak berada semoga
kebaikan Bapak dibalas Allah dengan kebaikan yang banyak. Seperti itulah doaku
untuk orang-orang yang berbaik hati kepadaku.
Setiap
minggu aku dan Mbak Ane menyempatkan bertemu tanpa Mas Kevin tentunya. Selain
main bareng kita juga belajar agama bareng. Kita punya tujuan yang jelas yaitu
bersama menuju jannahNya. By the way, aku beberapa minggu ini gak pernah ketemu
Mas Kevin di halte, karena dia sudah mengunakan motor, mungkin juga untuk
menjaga hati, agar kita tidak terlalu jauh melanggar laranganNya. Ini adalah
bulan ke enam setelah pertemuan dihalte pertama waktu itu. Akan tetapi, aku
masih menyimpan rasa, dan gak berkurang sedikitpun. Setiap aku duduk di halte,
aku selalu ingat dia, dan yang kulakukan hanya menghela nafas, huuff...
Kita sama-sama yakin, jodoh sudah ada yang mengatur.
Seberapa besar rindu ini, tidak akan menghasilkan apapun karena itu belum
waktunya. Kita menjaga hati agar tidak bergejolak tajam saat merasakan anugrah
mencintai. Aku sangat bersyukur menjalani hari seperti ini, aku terbebas dari
pergaulan bebas yang dapat merusak masa depan. Saat ini fokusku hanya untuk
keluarga, pendidikan, dan yang paling utama belajar Agama bareng Mbak Ane.
Beberapa tahun berlalu, Mbak Ane sudah menikah dan
mempunyai 2 anak. Mas Kevin entah kemana, aku tak tahu kabarnya lagi, terakhir
yang aku tahu dia sudah bekerja di perusahaan di luar negeri. Saat ini aku
sudah lulus sarjana. Aku pun tidak yakin lagi perasaanku sama seperti dulu.
Banyak orang datang dan pergi dalam kehidupanku ini. Tidak satupun yang menetap
dihati. Mungkin aku perlu mencoba membuka hati. Entahlah, biar waktu yang
menjawab.
Wkwk.. khas sudut pandang perempuan ya. Ini diikutkan ke lomba?
BalasHapusduh ketauan deh. tp ga dpet juara wkwk
Hapus