Cerita sebelumnya : acceptance #2: bridge
Melihat manusia-manusia Ibukota sedang mengisi perut
untuk tenaga pacu hingga siang tiba.
Kamipun sama, sambil makan, kami bercerita banyak hal. Kesana kesini,
mendengar, dan kebanyakan aku mendebat. Sedangkan Bang Handal terus saja kalem.
Karena ndak ada intensiku untuk dekat jadi ya biar saja, fikirku sambil melatih
debat. Sambil terkadang aku terkaget lalu keceplosan bicara kencang, Bang
Handal bilang, “eh sudah mirip orang sini yaa.” Aku tidak tahu maksudnya apa.
Langit bertanya, "kenapa matahari datang pada esok hari dan pergi pada sore hari." Jawab Matahari, "ya begitu adanya." Source: doc pribadi |
Sampai pada pertanyaan, “Hani kapan rencana menikah?”
tanyanya.
“Tahun depan Bang, ndak mau saya tunda menikah, hehe.”
“Terus sudah ada calonnya? Apa saja yang sudah dipersiapkan?
”
“Belum ada calonnya, belum ada juga persiapannya. Ya mengalir
aja begitu, semoga sudah didekatkan jodohnya.”
“Maukah kukenalkan sama temen-temenku, banyak kenalanku.”
Bla bla bla, bercerita banyak hal. Responku hanya diam, sambil mendengarkan.
Lalu, tiba-tiba, “Kalau sama aku gimana? Saya serius berniat baik sama Hani.”
“Ha? Maksudnya?” Dengan muka kaget.. “Coba dulu siapa tahu
cocok. Aku gak ngajak langsung nikah, tapi kenalan dulu.” Sambungnya.
“Kenapa aku? Kan baru kenal, Bang Handal juga gak kenal sama
aku, cuma tahu generalnya aja yang bisa jadi salah.” Fikirku ini mungkin ilusi
dipagi hari, karena ada wanita di depannya, masa depan cerah dan tempat asalnya
sama. Wanita yang tidak neko-neko jadi
mungkin dikira akan berjalan lancar kedepannya.
“Banyak hal. Sebenarnya tidak tahu aku ngomong apa ini.. Ya
sudah difikirkan dulu, jangan buru-buru jawab.” Menjelaskan dengan banyak hal
lagi, seperti biasanya, tanyaku satu kalimat, jawabannya bisa satu paragraf.
Bingung, kaget. Muka baru bangun tidur dan belum mandi
langsung diajakin serius.. Apa lagi ini, fikirku. Setelah diantarkan ke hotel tempatku meninginap, muncul
notifikasi pesan. “Hani, lupain aja ya, terlalu kecepetan, jadi takut ya kamu.”
Tapi entah mengapa diriku ndak terima jika begitu. Masih
penasaran. “Kenapa aku? Maksudnya serius itu gimana?”
Lalu banyak tanyaku. Dijawab juga sama Bang Handal. Entah
kenapa, jadi perlahan-lahan semakin yakin, dari yang 10% bisa sampai 50%. Lalu
kifikir jalani saja dulu, toh aku belum menemukan alasan kuat untuk menolak. Jadi
banyak kenapa, kenapanya. Kuceritakan banyak hal yang mungkin akan berpengaruh
saat sudah menikah. Hingga satu momen, pecah sudah tangisku menceritakan banyak
hal, perjuangan-perjuangan yang menguras air mata. Lalu dikepalanya mungkin
berkecamuk banyak hal, “kenapa rumit sekali hidup anak ini.” Seperti itu
mungkin, mungkin.
Seperti memiliki ikatan, hati kami tertarik satu sama lain,
dengan semakin seringnya aku ke Jakarta karena urusan bisnis dan kuliah. Sebisa
mungkin bertemu, membicarakan apa yang penting dibahas dan yang ingin diketahui.
Aku belajar banyak hal padanya. Bahwa wanita ini harus mendukung lelakinya,
mengikuti perintahnya, tidak mengambil keputusan tapi bisa memberi masukan
dalam proses pengambilan keputusan. Tidak banyak protes, harus bergantung pada
lelaki. Hal yang sulit untukku karena
sudah terbiasa hidup sendiri mengurus bisnis dan kuliah, menjadi pemimpin dalam
berbagai hal. Selain itu, aku juga belajar dari membaca dan mendengar dari
sumber lain. Perempuan, semakin taat pada suami semakin bagus. Bahwa tidak
selalu pembagian tugas, tapi membantu meringankan beban yang lain, berfokus
memenuhi kewajiban bukan menuntut hak. Aku mulai memperbaiki cara berfikir dan
bicaraku.
Yang dulu bisanya cuma berkeinginan, memiliki perencanaan
tapi tanpa action. Alhamdulillah Allah SWT membawaku padanya. Memberi sudut
pandang baru dan mengajarkan banyak hal. Sederhana tanpa banyak neko-neko, dan
akhirat tujuannya. Masih belum menemukan alasan untuk menolak, tapi masih belum
yakin karena ternyata masih banyak yang harus disiapkan, dari dalam diri maupun
dari segala sisi.
bersambung..
bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar