Rabu, 20 November 2019

Acceptance #2: Bridge


Pertemuan adalah jembatan penghubung menuju ke
banyak hal. source: freepik.com


4 bulan sebelum aku merantau, ada notifikasi pesan di instagram. Kubuka, ternyata Bang Handal, aku putar lagi memoriku, ini masnya yang gimana ya.. Oo yang pernah dateng ke acara pertemuan dari SMA yang sama di Kabupaten kami, mukanya tergambar, sepertinya pendiam dan sholeh. Maklum dulu asal follow-follow yang kulihat dari saran dari instagram. Lalu tidak ada kata, akupun juga tidak kefikiran awalnya untuk menghubungi abangnya, apalagi nanya-nanya, karena gak kenal juga, mungkin dia juga gak inget wajahku, ngobrol juga gak pernah.

“Ini Hani yang dari SMP 1 kan? Milih kuliah dimana kamu?”

Setelah pertanyaan itu, kami ngobrol panjang lebar mengenai daerah-daerah di Jawa, karena sudah 3 tahun merantau di Jawa, paham garis besarnya daerah di Jawa dan universitas mana yang bagus. Aku terkesannya, dia gak pelit informasi dan jawaban. Aku nanyanya 1 pertanyaan, jawabnya bisa 1 paragraf panjang. Ah, tipe-tipe yang baik, karena sering berkomunikasi, ya kadang ada rasa deg begitu ketika dijawab pesannya, maklum memang jarang komunikasi dengan pria.

Diantara percakapan mengenai tempat kuliah, kami juga sesekali membicarakan bisnis. Di daerah kami memang dari muda sudah dibekali bisnis oleh orang tua. Bermacam-macam bisnis yang dibekalkan dari setiap keluarga, kalau aku bisnis kain batik, tenun, songket, dsb dari berbagai daerah yang sudah aku mulai sejak kursus dulu. Dan memang sebelum kuliah di Jawa ini, aku sudah mempelajari target market, tempat strategis, distribusi stock untuk membuka bisnis disana, jadi bisa mandiri tanpa merepotkan orang tua. Dalam bisnisku kali ini, dalam satu tempat, terdapat berbagai kain, designer dan penjahit. Jadi setiap orang bisa custom, spesial untuk dia saja. Target pasarnya menengah keatas.

Kalau bisnisnya Bang Handal, mengenai perkomputeran. Beberapa waktu yang lalu juga Bang Handal memesan baju dan kusarankan ini itu, lalu ku kirim ke Jakarta. Seusia kami yang sekitar umur 20 tahun sudah mandiri, menghasilkan uang sendiri dan biasanya sudah menikah, termasuk yang masih kuliah atau yang langsung bekerja/membuka bisnis. Kenapa gak menggangu waktu belajar, karena memang kami sudah punya karyawan, pencatatannya lengkap, jadi biasanya malam hari baru memantau perkembangan, menghitung laba dan mengecek stock termasuk mencari ide-ide segar. Itupun hanya sebentar karena sudah terbiasa. Jadi banyak waktu untuk fokus kuliah dan mengurusi masalah pribadi lainnya.

[Di stasiun Pasar Senen menunggu Bang Handal] Matahari mulai naik sedikit demi sedikit, orang berlalu lalang mengejar apa yang layak di kejar. Berburu mengejar waktu, dari subuh sudah berada di Jalan, ramai disana sini. Kuperhatikan berbagai sudut, kunikmati semua yang ada. Lalu kulihat dari jauh Bang Handal pakai masker, maklum udara di jalanan Jakarta kurang bersahabat. Iya yang ini Bang Handal. Bang Handal membantu membawakan koper lalu dibonceng Bang Handal, ngobrol, beberapa kalimat tidak terdengar jelas. Lalu saya hanya menjawab, “hmmm...”.


“Sudahkah sarapan?” Bang Handal bertanya. Lalu kita berdiskusi, mau makan apa. Akhirnya sampai di depan warung makan yang khusus buat sarapan, memilih tempat pojokan agar tidak terlalu ramai lalu lalang orang dan kami pesan bubur. Berbicara banyak hal, mengalir dan nyambung, tapi banyakan aku yang tidak 100% setuju dengan pernyataannya Bang Handal. Entah kenapa, rasanya harus dijawab lagi dan lagi. Aku yang masih dengan muka bangun tidur, belum cuci muka, belum pakai makeup dan skincare. Sedangkan Bang Handal sudah rapi dengan tas ranselnya yang siap mau kuliah.

Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar