Jumat, 22 November 2019

Acceptance #4 : Boom waktu

Cerita sebelumnya: acceptance #3 : banyak tanya

Banyak hal yang akhirnya terungkap dari diriku. Masih banyak yang perlu diperbaiki, banyak masalah. Meskipun telah banyak kenangan yang tercipta di pinggir pantai, cafe, tempat makan, tempat nongkrong. Malam-malam berkeliling Jakarta mencari tempat yang pas untuk berbicara. Bersembunyi dibelakangku ketika datang sedangkan diriku yang sedang video call dengan Ibu. Makan bakso. Makan ikan, pertama kali kami makan malam bersama. Waktu menunggu karena Bang Handal sedang ada urusan kampus. Memaksanya berangkat ke kampus saat sudah nyaman duduk berdua di pinggir pantai. Bang Handal yang sering ke Stasiun pagi hari untuk menjemputku, mengantar ke hotel, menjemputku lagi di hotel. Melihat ekspresinya saat menelfon urusan bisnis. Mendengar nada bicaranya saat sedang serius ngobrol dengan temannya. Bertemu beberapa kali saat di kampung halaman. Dia yang tidak keberatan dalam banyak kesempatan menghabiskan makananku, meminum sisa minumanku, mencicipi makananku. Baik sekali. Santun dan aku tau dia banyak menahan supaya tidak menodai proses.

Dahan yang jatuh dari pohonnya pun sudah
diatur olehnya. Semua atas kehendakNya.
Source: doc pribadi

Semakin Bang Handal tau tentang diriku, semakin tidak yakin denganku. Sebaliknya denganku, semakin ku kenal dia, semakin bertambah yakinnya. Berjalan kearah yang berlawanan, yang akan menjadi bom waktu saat sudah pada puncaknya. Sekufu adalah hal yang penting. Sedangkan diriku tidak kunjung membuatnya yakin. Banyak perbedaan, selain karena perbedaan kedewasaan, juga mungkin banyak faktor lain dari diriku yang tidak bisa ia terima. Tidak baik meneruskan proses yang mungkin sudah ternodai menurutnya. Tidak berkomunikasi untuk waktu yang lama. Banyak yang berkecamuk dalam dirinya. Bang Handal bilang tidak bisa meneruskan ini karena malah mirip pacaran. Lalu kita lost contact lama. Hingga pada malam itu di Jakarta, saat diriku selesai urusan bisnis, aku ingin bertemu untuk membicarakan kelanjutannya. Dan ternyata meledak pada hari itu, ia tidak suka dengan beberapa hal dalam diriku termasuk “dominan”. Padahal jika ia tahu, sudah banyak usahaku untuk memperbaiki semuanya. Pada akhirnya Ia yang tidak kunjung yakin dan diriku yang juga belum yakin 100% ditambah aku sadar aku tidak pantas untuknya. Dia terlalu baik untukku.
Malam itu, aku mengajaknya bertemu, karena ingin mengakhiri dengan baik-baik, membicarakan dengan baik-baik. Kenapa ketemu, mungkin kita bisa menemukan chemistri lagi setelah bersitegang beberapa lama. Aku masih berharap walaupun kemungkinan untuk baik-baik saja sedikit. Tapi dengan berbagai alasan, Qadarullah dia menolak untuk bertemu. Lalu, aku memutuskan untuk menelfon. Pecah semua, ia mengungkapkan hal-hal yang dipendam selama ini, aku mengakhirinya, karena kami sama-sama tidak sanggup untuk meneruskan.

Jika diteruskan juka semakin banyak bagian hati yang terluka. Klasik memang, “dia terlalu baik untukku.” Tapi memang begitu adanya, biar aku jelaskan yaa, semoga kamu bisa mengerti. Terlalu baik, artinya dia tingkatannya lebih dari kita. Kalau misal jadi menikah, akan banyak pertentangan, dia akan banyak mengalah, mungkin tidak menemukan kedamaian yang dicari. Misal pasangan bermahzab musik itu haram, sedangkan satunya tidak. Akan ribut juga akhirnya, orang yang bermahzab musik itu haram, jika mendengar sedikit saja, timbul berontak dalam hatinya, hingga bisa mempengaruhi fisik, pusing contohnya. Jika itu dilakukan oleh pasangannya, bagaimana jadinya? Sedih, kacau kan pasti, pasangan melakukan hal yang ia benci secara konstan dan waktu lama. Itu contohnya baru musik, padahal Islam mengatur banyak hal dalam setiap inci kehidupan. Kalau orang yang kaffah(menyeluruh) dalam beragama, menikah dengan orang yang biasa saja, akan banyak pertentangan. Untuk orang yang kaffah juga tertekan, untuk pasangannya pun juga sama. Oleh karena itu, pentingnya sekufu dalam pernikahan.


Itu soal perbuatan, belum lagi sikap. Orang yang dominan, akan sulit jika memiliki pasangan yang dominan juga, jika keduanya tidak ada yang mau mengalah. Akan sulit bagi Bang Handal untuk mengaturku nantinya, padahal Bang Handal maunya cewek yang sangat penurut. Sedangkan aku, beberapa kali Bang Handal bilang, “Harus semua dituruti ya?”, “Kamu pinter ya mengarahkan orang untuk bilang iya dan melakukan sesuatu (sedangkan Bang Handal bukan tipe lelaki yang mau diatur oleh istri, semua lelaki juga begitu sih.”, “Kamu orangnya planning banget ya? Di fikiranmu tu kalau sudah gagal plan A, kamu masih punya plan B, C, dan D. (padahal Bang Handal maunya kendali penuh ada ditanggannya.)”. Maudiapa, memang begitu naturalnya diriku. Begitu juga naturalnya Bang Handal. Tidak bisa disatukan, karena tipe suami yang pas untuk diriku ya, yang mau menerima sikapku ini, yang dengan senang hati ngikutin kata istri, padahal hampir semua lelaki, maunya dia yang memutuskan. Tapi, jika pembaca tau, aku sudah mengurangi semuanya, tapi masih tetap terlihat dengan nyata. Hingga di malam perpisahan itu bilang, “Aku belum menemukan cara untuk mendidikmu.” Beda kepribadian, bukan lagi beda, namun tidak cocok kepribadiaannya. Mau diapakan lagi, memang tidak bisa diteruskan.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar