Sabtu, 23 November 2019

Acceptance #5: The End

Cerita sebelumnya: Acceptance #4: Boom Waktu

Setelah malam itu, Hani hancur, semua rencana-rencananya runtuh. 2 minggu susah sekali tersenyum, padahal Hani orangnya gampang tertawa, gampang tidak terima, gampang mendebat, dst. Namun ia hanya diam-diam saja. Orang-orang disekitarnya pun bingung, termasuk Bapak Ibunya, biasanya jika menelfon bisa berjam-jam, sekarang hanya sepotong-potong kata saja, dengan muka datar. Temen-temennya bertanya, “kenapa kah diam-diam aja, lagi galau ya?”

Hani belajar menerima segala hal, kenyataan bahwa apa yang dibangunnya gagal sudah. Sudah bisa seperti biasa, namun hatinya sering sakit. Tidak jelas, dia bingung. Dia sudah berusaha sekeras hati mengubah dirinya, membunuh egonya, memahami Bang Handal saat masih bersama dulu, namun akhirnya semua gagal. Setelah 5 bulan berpisah, ia menyadari, bahwa ia sakit psikisnya. Berbekal bertanya, lalu Hani mengunjungi psikolog, setelah identifikasi pertama, dijadwalkan ada 5 pertemuan yang telah dijadwalkan psikolog.

Tidak mudah memang, terlalu banyak kenangan yang tercipta di Jakarta, dan untuk bulan-bulan hingga tahun kedepan, ia akan tetap mengunjungi Jakarta untuk urusan bisnis dan kuliah. Terlebih, orang tuanya sudah sering bertanya kapan menikah. Hani memang sudah lama tidak dekat dengan lelaki, tiba-tiba datang, meninggalkan kesan baik, lalu pergi. Menjadi persinggahan saja dan tidak ditakdirkan untuk menetap selamanya. Tersesat disuatu tempat lalu pergi ketika sadar bahwa tempat itu tidak nyaman dan tidak tepat. Wajar, jika ia terluka dan belum bisa menerima, harus datang ke psikolog agar dibantu menyembuhkan lukanya. Diawali dengan penguraian masalah hingga akhirnya bisa menerima yang dihadapinya saat ini.

Pelajaran yang ia dapat banyak sekali, belajar menerima kenyataan dan rasa sakit. Apa yang ia rencanakan belum tentu menjadi yang terbaik menurut Allah SWT. Gagal dalam hubungan yang sedang ia hadapi harus diterimanya. Dia tidak boleh menyalahkan dirinya, takdir, ataupun Bang Handal. Dia harus menerima secara utuh dirinya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sifat, kecenderungan, pembawaan, dsb. Tidak membenci lagi dirinya dan harus tetap memperbaiki diri. Selain penerimaan terhadap dirinya, ia juga harus menerima kenyataan bahwa Bang Handal sudah dekat dengan beberapa wanita selama 5 bulan ini, memang sudah waktunya bagi Bang Handal, dan ia berhak untuk bahagia meskipun tidak bersama Hani. Hani juga belajar menerima bahwa memang Allah SWT menakdirkan dirinya untuk memperbaiki diri dulu, hingga jika Allah SWT menganggap bahwa Hani sudah pantas, insyaAllah Ia dekatkan dengan jodohnya.

Hani juga harus sadar, bahwa ia juga tidak siap jika harus bersama Bang Handal dengan segala perbedaan dan bentrokan sikap. Meskipun Bang Handal sangat baik, namun ia bukan untuk Hani, untuk wanita lain yang lebih baik dan lebih cocok dengan Bang Handal. Yang ia kira selama ini bisa berjalan dengan baik perbedaan itu, namun nyatanya tidak, ternyata menjadi boomerang hebat. Sudah mencoba banyak cara, namun tetap setiap kondisi menuju perpisahan.  Ia bersyukur terjadi sebelum pernikahan dan tidak lebih jauh lagi. Tidak bisa dipaksakan lagi, tidak ada kata yang dapat terucap lagi, tidak ada kalimat yang perlu disampaikan lagi, semua telah usai, menjadi orang lain lagi, menjadi orang asing yang tidak pernah saling dekat. Tidak boleh berandai-andai tentang masa depan bersama maupun mengira-ngira jika begini maka akan tidak sama hasilnya. Tidak ada yang perlu disesali apapun yang telah tercipta, yang telah ditakdirkan, Qadarullah. Semua yang terjadi itu untuk kebaikan kita masing-masing. Tidak boleh ada pengharapan maupun kebencian. Hani harus menerima semuanya. Jika nanti ada hubungan bisnis ataupun sosial, ia harus tetap profesional dan menganggap semua sudah selesai, tidak ada yang tersakiti, harus kembali menjadi wanita yang pandai mengatur segalanya, menyelesaikan tanggung jawab dengan sempurna dan yang terpenting menjadi wanita yang percaya dengan dirinya sendiri, bahwa begitulah ia salah satu Maha Karya Allah SWT yang sempurna dan diberkahi selalu olehNya.

Banyak hal yang menunggu untuk disyukuri. Genggam semua
rasa yang ada, jangan dibenci, syukuri semuanya.
source: dokpribadi

Hani harus belajar bersyukur lagi. Telah banyak yang dapat ia raih. Tentang pendidikan, bisnis, keluarga yang semua berjalan dengan baik dan lebih dari yang ia bayangkan. Hani harus yakin, siapapun yang berhijrah untuk Allah SWT akan diberikan lebih dari apa yang diusahakan, terbukti saat ini, Allah SWT sangat baik kepadaNya. Hani harus bangkit, harus lebih dekat dengan Allah SWT. Tidak perlu mencari yang tidak-tidak, harus lebih bersyukur. Harus lebih menerima apa yang telah ditakdirkan oleh Sang Maha Pencipta, tidak ridhokah Hani dengan apa yang diberi Sang Maha Pencipta, Sang Maha Benar. Banyak nikmat yang menunggu untuk disyukuri, udara pagi, matahari, malam, bintang, bulan, angin sejuk, pantai, makanan, minuman,  buah, pertemanan, senyuman, kelucuan, percakapan, sehat, keringat, tidur nyenyak, dsb. Masih banyak waktu. Kamu bisa bersinar, seterang dan sehangat mentari pagi yang menyejukan untuk orang-orang disekitarmu dan yang terpenting untuk dirimu sendiri.  




The END.

Jumat, 22 November 2019

Acceptance #4 : Boom waktu

Cerita sebelumnya: acceptance #3 : banyak tanya

Banyak hal yang akhirnya terungkap dari diriku. Masih banyak yang perlu diperbaiki, banyak masalah. Meskipun telah banyak kenangan yang tercipta di pinggir pantai, cafe, tempat makan, tempat nongkrong. Malam-malam berkeliling Jakarta mencari tempat yang pas untuk berbicara. Bersembunyi dibelakangku ketika datang sedangkan diriku yang sedang video call dengan Ibu. Makan bakso. Makan ikan, pertama kali kami makan malam bersama. Waktu menunggu karena Bang Handal sedang ada urusan kampus. Memaksanya berangkat ke kampus saat sudah nyaman duduk berdua di pinggir pantai. Bang Handal yang sering ke Stasiun pagi hari untuk menjemputku, mengantar ke hotel, menjemputku lagi di hotel. Melihat ekspresinya saat menelfon urusan bisnis. Mendengar nada bicaranya saat sedang serius ngobrol dengan temannya. Bertemu beberapa kali saat di kampung halaman. Dia yang tidak keberatan dalam banyak kesempatan menghabiskan makananku, meminum sisa minumanku, mencicipi makananku. Baik sekali. Santun dan aku tau dia banyak menahan supaya tidak menodai proses.

Dahan yang jatuh dari pohonnya pun sudah
diatur olehnya. Semua atas kehendakNya.
Source: doc pribadi

Semakin Bang Handal tau tentang diriku, semakin tidak yakin denganku. Sebaliknya denganku, semakin ku kenal dia, semakin bertambah yakinnya. Berjalan kearah yang berlawanan, yang akan menjadi bom waktu saat sudah pada puncaknya. Sekufu adalah hal yang penting. Sedangkan diriku tidak kunjung membuatnya yakin. Banyak perbedaan, selain karena perbedaan kedewasaan, juga mungkin banyak faktor lain dari diriku yang tidak bisa ia terima. Tidak baik meneruskan proses yang mungkin sudah ternodai menurutnya. Tidak berkomunikasi untuk waktu yang lama. Banyak yang berkecamuk dalam dirinya. Bang Handal bilang tidak bisa meneruskan ini karena malah mirip pacaran. Lalu kita lost contact lama. Hingga pada malam itu di Jakarta, saat diriku selesai urusan bisnis, aku ingin bertemu untuk membicarakan kelanjutannya. Dan ternyata meledak pada hari itu, ia tidak suka dengan beberapa hal dalam diriku termasuk “dominan”. Padahal jika ia tahu, sudah banyak usahaku untuk memperbaiki semuanya. Pada akhirnya Ia yang tidak kunjung yakin dan diriku yang juga belum yakin 100% ditambah aku sadar aku tidak pantas untuknya. Dia terlalu baik untukku.
Malam itu, aku mengajaknya bertemu, karena ingin mengakhiri dengan baik-baik, membicarakan dengan baik-baik. Kenapa ketemu, mungkin kita bisa menemukan chemistri lagi setelah bersitegang beberapa lama. Aku masih berharap walaupun kemungkinan untuk baik-baik saja sedikit. Tapi dengan berbagai alasan, Qadarullah dia menolak untuk bertemu. Lalu, aku memutuskan untuk menelfon. Pecah semua, ia mengungkapkan hal-hal yang dipendam selama ini, aku mengakhirinya, karena kami sama-sama tidak sanggup untuk meneruskan.

Jika diteruskan juka semakin banyak bagian hati yang terluka. Klasik memang, “dia terlalu baik untukku.” Tapi memang begitu adanya, biar aku jelaskan yaa, semoga kamu bisa mengerti. Terlalu baik, artinya dia tingkatannya lebih dari kita. Kalau misal jadi menikah, akan banyak pertentangan, dia akan banyak mengalah, mungkin tidak menemukan kedamaian yang dicari. Misal pasangan bermahzab musik itu haram, sedangkan satunya tidak. Akan ribut juga akhirnya, orang yang bermahzab musik itu haram, jika mendengar sedikit saja, timbul berontak dalam hatinya, hingga bisa mempengaruhi fisik, pusing contohnya. Jika itu dilakukan oleh pasangannya, bagaimana jadinya? Sedih, kacau kan pasti, pasangan melakukan hal yang ia benci secara konstan dan waktu lama. Itu contohnya baru musik, padahal Islam mengatur banyak hal dalam setiap inci kehidupan. Kalau orang yang kaffah(menyeluruh) dalam beragama, menikah dengan orang yang biasa saja, akan banyak pertentangan. Untuk orang yang kaffah juga tertekan, untuk pasangannya pun juga sama. Oleh karena itu, pentingnya sekufu dalam pernikahan.


Itu soal perbuatan, belum lagi sikap. Orang yang dominan, akan sulit jika memiliki pasangan yang dominan juga, jika keduanya tidak ada yang mau mengalah. Akan sulit bagi Bang Handal untuk mengaturku nantinya, padahal Bang Handal maunya cewek yang sangat penurut. Sedangkan aku, beberapa kali Bang Handal bilang, “Harus semua dituruti ya?”, “Kamu pinter ya mengarahkan orang untuk bilang iya dan melakukan sesuatu (sedangkan Bang Handal bukan tipe lelaki yang mau diatur oleh istri, semua lelaki juga begitu sih.”, “Kamu orangnya planning banget ya? Di fikiranmu tu kalau sudah gagal plan A, kamu masih punya plan B, C, dan D. (padahal Bang Handal maunya kendali penuh ada ditanggannya.)”. Maudiapa, memang begitu naturalnya diriku. Begitu juga naturalnya Bang Handal. Tidak bisa disatukan, karena tipe suami yang pas untuk diriku ya, yang mau menerima sikapku ini, yang dengan senang hati ngikutin kata istri, padahal hampir semua lelaki, maunya dia yang memutuskan. Tapi, jika pembaca tau, aku sudah mengurangi semuanya, tapi masih tetap terlihat dengan nyata. Hingga di malam perpisahan itu bilang, “Aku belum menemukan cara untuk mendidikmu.” Beda kepribadian, bukan lagi beda, namun tidak cocok kepribadiaannya. Mau diapakan lagi, memang tidak bisa diteruskan.

bersambung...

Kamis, 21 November 2019

Acceptance #3: Banyak tanya

Cerita sebelumnya : acceptance #2: bridge

Melihat manusia-manusia Ibukota sedang mengisi perut untuk  tenaga pacu hingga siang tiba. Kamipun sama, sambil makan, kami bercerita banyak hal. Kesana kesini, mendengar, dan kebanyakan aku mendebat. Sedangkan Bang Handal terus saja kalem. Karena ndak ada intensiku untuk dekat jadi ya biar saja, fikirku sambil melatih debat. Sambil terkadang aku terkaget lalu keceplosan bicara kencang, Bang Handal bilang, “eh sudah mirip orang sini yaa.” Aku tidak tahu maksudnya apa.
Langit bertanya, "kenapa matahari datang pada esok hari
dan pergi pada sore hari." Jawab Matahari, "ya begitu adanya."
Source: doc pribadi

Sampai pada pertanyaan, “Hani kapan rencana menikah?” tanyanya.

“Tahun depan Bang, ndak mau saya tunda menikah, hehe.”

“Terus sudah ada calonnya? Apa saja yang sudah dipersiapkan? ”

“Belum ada calonnya, belum ada juga persiapannya. Ya mengalir aja begitu, semoga sudah didekatkan jodohnya.”

“Maukah kukenalkan sama temen-temenku, banyak kenalanku.” Bla bla bla, bercerita banyak hal. Responku hanya diam, sambil mendengarkan. Lalu, tiba-tiba, “Kalau sama aku gimana? Saya serius berniat baik sama Hani.”

“Ha? Maksudnya?” Dengan muka kaget.. “Coba dulu siapa tahu cocok. Aku gak ngajak langsung nikah, tapi kenalan dulu.” Sambungnya.

“Kenapa aku? Kan baru kenal, Bang Handal juga gak kenal sama aku, cuma tahu generalnya aja yang bisa jadi salah.” Fikirku ini mungkin ilusi dipagi hari, karena ada wanita di depannya, masa depan cerah dan tempat asalnya sama.  Wanita yang tidak neko-neko jadi mungkin dikira akan berjalan lancar kedepannya.

“Banyak hal. Sebenarnya tidak tahu aku ngomong apa ini.. Ya sudah difikirkan dulu, jangan buru-buru jawab.” Menjelaskan dengan banyak hal lagi, seperti biasanya, tanyaku satu kalimat, jawabannya bisa satu paragraf.

Bingung, kaget. Muka baru bangun tidur dan belum mandi langsung diajakin serius.. Apa lagi ini, fikirku. Setelah diantarkan ke hotel tempatku meninginap, muncul notifikasi pesan. “Hani, lupain aja ya, terlalu kecepetan, jadi takut ya kamu.”

Tapi entah mengapa diriku ndak terima jika begitu. Masih penasaran. “Kenapa aku? Maksudnya serius itu gimana?”

Lalu banyak tanyaku. Dijawab juga sama Bang Handal. Entah kenapa, jadi perlahan-lahan semakin yakin, dari yang 10% bisa sampai 50%. Lalu kifikir jalani saja dulu, toh aku belum menemukan alasan kuat untuk menolak. Jadi banyak kenapa, kenapanya. Kuceritakan banyak hal yang mungkin akan berpengaruh saat sudah menikah. Hingga satu momen, pecah sudah tangisku menceritakan banyak hal, perjuangan-perjuangan yang menguras air mata. Lalu dikepalanya mungkin berkecamuk banyak hal, “kenapa rumit sekali hidup anak ini.” Seperti itu mungkin, mungkin.

Seperti memiliki ikatan, hati kami tertarik satu sama lain, dengan semakin seringnya aku ke Jakarta karena urusan bisnis dan kuliah. Sebisa mungkin bertemu, membicarakan apa yang penting dibahas dan yang ingin diketahui. Aku belajar banyak hal padanya. Bahwa wanita ini harus mendukung lelakinya, mengikuti perintahnya, tidak mengambil keputusan tapi bisa memberi masukan dalam proses pengambilan keputusan. Tidak banyak protes, harus bergantung pada lelaki.  Hal yang sulit untukku karena sudah terbiasa hidup sendiri mengurus bisnis dan kuliah, menjadi pemimpin dalam berbagai hal. Selain itu, aku juga belajar dari membaca dan mendengar dari sumber lain. Perempuan, semakin taat pada suami semakin bagus. Bahwa tidak selalu pembagian tugas, tapi membantu meringankan beban yang lain, berfokus memenuhi kewajiban bukan menuntut hak. Aku mulai memperbaiki cara berfikir dan bicaraku.

Yang dulu bisanya cuma berkeinginan, memiliki perencanaan tapi tanpa action. Alhamdulillah Allah SWT membawaku padanya. Memberi sudut pandang baru dan mengajarkan banyak hal. Sederhana tanpa banyak neko-neko, dan akhirat tujuannya. Masih belum menemukan alasan untuk menolak, tapi masih belum yakin karena ternyata masih banyak yang harus disiapkan, dari dalam diri maupun dari segala sisi.

bersambung..

Rabu, 20 November 2019

Acceptance #2: Bridge


Pertemuan adalah jembatan penghubung menuju ke
banyak hal. source: freepik.com


4 bulan sebelum aku merantau, ada notifikasi pesan di instagram. Kubuka, ternyata Bang Handal, aku putar lagi memoriku, ini masnya yang gimana ya.. Oo yang pernah dateng ke acara pertemuan dari SMA yang sama di Kabupaten kami, mukanya tergambar, sepertinya pendiam dan sholeh. Maklum dulu asal follow-follow yang kulihat dari saran dari instagram. Lalu tidak ada kata, akupun juga tidak kefikiran awalnya untuk menghubungi abangnya, apalagi nanya-nanya, karena gak kenal juga, mungkin dia juga gak inget wajahku, ngobrol juga gak pernah.

“Ini Hani yang dari SMP 1 kan? Milih kuliah dimana kamu?”

Setelah pertanyaan itu, kami ngobrol panjang lebar mengenai daerah-daerah di Jawa, karena sudah 3 tahun merantau di Jawa, paham garis besarnya daerah di Jawa dan universitas mana yang bagus. Aku terkesannya, dia gak pelit informasi dan jawaban. Aku nanyanya 1 pertanyaan, jawabnya bisa 1 paragraf panjang. Ah, tipe-tipe yang baik, karena sering berkomunikasi, ya kadang ada rasa deg begitu ketika dijawab pesannya, maklum memang jarang komunikasi dengan pria.

Diantara percakapan mengenai tempat kuliah, kami juga sesekali membicarakan bisnis. Di daerah kami memang dari muda sudah dibekali bisnis oleh orang tua. Bermacam-macam bisnis yang dibekalkan dari setiap keluarga, kalau aku bisnis kain batik, tenun, songket, dsb dari berbagai daerah yang sudah aku mulai sejak kursus dulu. Dan memang sebelum kuliah di Jawa ini, aku sudah mempelajari target market, tempat strategis, distribusi stock untuk membuka bisnis disana, jadi bisa mandiri tanpa merepotkan orang tua. Dalam bisnisku kali ini, dalam satu tempat, terdapat berbagai kain, designer dan penjahit. Jadi setiap orang bisa custom, spesial untuk dia saja. Target pasarnya menengah keatas.

Kalau bisnisnya Bang Handal, mengenai perkomputeran. Beberapa waktu yang lalu juga Bang Handal memesan baju dan kusarankan ini itu, lalu ku kirim ke Jakarta. Seusia kami yang sekitar umur 20 tahun sudah mandiri, menghasilkan uang sendiri dan biasanya sudah menikah, termasuk yang masih kuliah atau yang langsung bekerja/membuka bisnis. Kenapa gak menggangu waktu belajar, karena memang kami sudah punya karyawan, pencatatannya lengkap, jadi biasanya malam hari baru memantau perkembangan, menghitung laba dan mengecek stock termasuk mencari ide-ide segar. Itupun hanya sebentar karena sudah terbiasa. Jadi banyak waktu untuk fokus kuliah dan mengurusi masalah pribadi lainnya.

[Di stasiun Pasar Senen menunggu Bang Handal] Matahari mulai naik sedikit demi sedikit, orang berlalu lalang mengejar apa yang layak di kejar. Berburu mengejar waktu, dari subuh sudah berada di Jalan, ramai disana sini. Kuperhatikan berbagai sudut, kunikmati semua yang ada. Lalu kulihat dari jauh Bang Handal pakai masker, maklum udara di jalanan Jakarta kurang bersahabat. Iya yang ini Bang Handal. Bang Handal membantu membawakan koper lalu dibonceng Bang Handal, ngobrol, beberapa kalimat tidak terdengar jelas. Lalu saya hanya menjawab, “hmmm...”.


“Sudahkah sarapan?” Bang Handal bertanya. Lalu kita berdiskusi, mau makan apa. Akhirnya sampai di depan warung makan yang khusus buat sarapan, memilih tempat pojokan agar tidak terlalu ramai lalu lalang orang dan kami pesan bubur. Berbicara banyak hal, mengalir dan nyambung, tapi banyakan aku yang tidak 100% setuju dengan pernyataannya Bang Handal. Entah kenapa, rasanya harus dijawab lagi dan lagi. Aku yang masih dengan muka bangun tidur, belum cuci muka, belum pakai makeup dan skincare. Sedangkan Bang Handal sudah rapi dengan tas ranselnya yang siap mau kuliah.

Bersambung.....

Selasa, 12 November 2019

Acceptance #1 : Bertemu

Cerita sebelumnya Acceptance: Perkenalan

Hasil ujian telah diumumkan, Alhamdulillah aku diterima di salah satu universitas negeri di Jogja. Bapak Ibu pun menangis haru. Jadi teringat waktu pertama merantau dulu, diantar ke terminal bis dengan tangis haru dari Ibu dan Bapak, dan lagi, akupun harus merantau lebih jauh, untuk berkuliah di Jawa. Setelah mengemas beberapa barang, akupun bersiap kembali ke ibukota provinsi untuk membereskan kos lalu bergegas naik pesawat ke Jogja. Kali ini, aku yang kalut hatinya, menghadapi kenyataan harus semakin jauh lagi dari orang tua. Lalu aku di kuatkan oleh Bapak Ibu, “inikan yang sudah kamu perjuangkan lama, gak semua orang bisa dapet kesempatan kuliah di Jawa. Ini yang jadi cita-cita kita bersama kan nak? Tidak apa-apa, Jawa juga bumi Allah SWT, dimanapun kamu berada, yakinlah Allah selalu bersamamu. Kamu gak mau juga kan kuliah disini, atau malah mau langsung kerja dengan ijazah SMA, pikirkan masa depanmu nak.”

Siap tidak siap, hari itu pun datang, hari dimana aku harus ikhlas menerima bahwa aku harus merantau lagi. Ooo ternyata begini Jogja, dengan bandara yang tidak sebesar Soekarno Hatta, orang-orang yang lebih sering senyum, nada bicara yang tidak tinggi, kesan pertamaku tentang Jogja. Walaupun bahasaku beda, tapi aku mencoba membaur, mencoba belajar sedikit demi sedikit bahasa jawa. Karena orang tuaku berpesan, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Harus mengikuti peraturan-peraturan, bahasa baru di tempat baru walaupun berbeda dengan di daerahku. Aku sudah belajar ikhlas dan sabar.

Bang Handal ilustration by: freepik.com
Kenapa memilih universitas ini dan Jogja? Setelah berdiskusi dengan orang tua dan keyakinan hati serta sudah bertanya banyak hal ke Bang Handal akhirnya aku memilih dan alhamdulillah diterima di pilihan pertama. Bang Handal adalah kakak kelas SMA, berasal dari kabupaten yang sama denganku. Dia kuliah di Jakarta, yang beberapa bulan sebelum aku merantau di Jawa, aku iseng-iseng follow instagramnya, dan aku bertanya lewat situ mengenai bagaimana kuliah di Jawa, daerah mana yang pas dengan kemauanku, dsb. Kami hanya berkomunikasi jika ada hal-hal yang penting untuk ditanyakan. Hingga suatu hari, muncul notifikasi ig, “Dek, kamu ndak bisa ya kalau gak serius yang dibicarakan?” Deg, langsung bingung, mau jawab bagaimana, karena memang selama ini aku membatasi berhubungan hal-hal tidak penting dengan lawan jenis. Lalu kujawab saja sekenanya lalu membicarakan hal-hal serius lagi. Dan memang kami tidak berkomunikasi untuk hal-hal yang tidak penting.

Waktu berjalan beberapa waktu, lalu aku mewakili universitasku dalam pertemuan mahasiswa jurusan di Jakarta. Aku sengaja membatasi komunikasi dengan Bang Handal. Baru sesaat setelah masuk kereta menuju Jakarta aku menghubunginya, bahwa aku jalan menuju Jakarta, bertanya tempat turun paling dekat dengan tempat pertemuanku. Malam itu aku berangkat, karena capek sekali aku tidur terus di dalam kereta, ditambah kondisinya nyaman sekali, beda dengan bis di Sumatera. Bang Handal bilang nanti turun di stasiun jatinegara. Sebelumnya aku sudah share lokasi terkiniku ke Bang Handal pas jam 3 pagi. Lalu berkali-kali aku ditelfon, sudah dekat stasiun, bangun. Tapi tetap aku tidur lagi hehe.. sampai aku sadar sudah terlewat dari Stasiun Jatinegara. Lalu Bang Handal bilang turun distasiun terdekat, yaitu Stasiun  Pasar Senen. Aku santai saja menunggu di stasiun, karena Bang Handal bilang mau menjemput. Lalu sebelum aku menuju tempat pertemuan dan sebelum Bang Handal menuju ke tempat kuliah, kami memutuskan untuk sarapan pagi dulu, bubur ayam, sarapan khas orang Jakarta. Karena kurasa berbeda sekali dengan bubur di Sumatera, maka aku setengah mati menghabiskannya, karena porsinya juga besar.


Bersambung...

Acceptance: Perkenalan

Sebuah cerita fiksi berupa cerita bersambung, apabila terjadi kesamaan nama, kejadian, tempat, itu hanya kebetulan saja. Semoga bisa bermanfaat, ambil yang baik, buang yang buruk ya teman-teman.

Sinar matahari beserta angin pagi berhembus disela-sela rerimbunan pohon depan kosanku, menyelinap melalui ventilasi, lalu mengenai tubuh hingga sampai ke relung hatiku. Indahnya nikmat yang Allah SWT berikan kepadaku. Walaupun ini tahun ke 5 ku jauh dari orang tua, namun Allah SWT selalu memberikan orang-orang yang sangat baik terhadapku berada disekitarku. Mulai dari Ibu kosan yang sangat baik, hingga teman-teman dikampusku.

Namaku Hani, dari kabupaten terpencil di Sumatera, 5 tahun lalu aku pertama merantau untuk bersekolah SMA di Ibukota Provinsi karena berdasarkan pertimbangan bersama orangtua, SMA di Ibukota Provinsi lebih bagus kualitasnya untuk aku bisa melanjutkan ke universitas di Jawa yang kata orang-orang dikampungku sangat bagus. 3 Tahun di SMA, aku bertemu dengan teman seangkatan dan juga banyak kakak kelas yang berasal dari kabupaten yang sama denganku. Setiap liburan sekolah tiba, kami pulang kampung. Saat itulah biasanya kami mengadakan acara bersama agar bisa saling bersilaturahmi lintas angkatan. Ajang inilah juga untuk saling mengenal diantara kami, karena kehidupan di SMA dulu yang sangat sibuk dan berbeda gedung tiap angkatan sehingga sulit membuat acara bersama lintas angkatan. Hanya beberapa kali kulihat dalam acara bersama ini wajah-wajah dan nama-nama baru, sepintas lalu. Hanya tau, wajah ini namanya ini sepertinya pendiam, wajah itu namanya itu sepertinya taat beribadah, tanpa tau bagaimana karakter spesifiknya.

Setiap waktu berlalu, terasa berat bagiku, melalui setiap tantangan kehidupan SMA dan berbagai pelajarannya yang lebih sulit dari masa SMP ku di Kabupatenku dulu, hingga kehidupan pribadi yang baru berjuang jauh dari orang tua. Namun, meskipun begitu, aku bersyukur karena saat itu aku menahan semua sakit yang ada, untuk tetap terus berlari mengejar apapun yang pantas untuk dikejar. Menahan perasaan agar tidak main-main dengan hati sehingga dapat mengganggu tujuan utamaku merantau yaitu mencari ilmu untuk bisa kuliah di Jawa.

berjalan menuju bis kota, source: freepik.com

Akhirnya masa-masa berat SMA terlalui. Saatnya berjuang untuk mencari universitas di Jawa. Berbagai informasi kukumpulkan, bertanya ke kakak tingkat, browsing, hingga mendaftar dan tes. Namun masih tertunda, tahun ini aku masih belum bisa kuliah di Jawa. Setelah diskusi panjang dengan orang tua, Kami memutuskan untuk kursus dulu di Ibukota Provinsi persiapan untuk mendaftar tahun depan. Tahun ke 4 ku merantau digunakan untuk itu. Aku jalani saja setiap pagi berangkat menuju tempat kursus, berdesak-desakan di bis, karena aku tidak memiliki kendaraan pribadi, dan kosanku lumayan jauh sekitar 15 km dari tempat kursus. Sebenarnya orang tuaku menyarankan untuk pindah di dekat tempat kursus, tapi karena sudah nyaman dikosan lama, dan ternyata di daerah tempat kursus tersebut harga kosannya lebih mahal. Jadi aku mengurungkan niat dan tetap berjuang setiap pagi dan sore berdesak-desakan di bis. Bahkan terkadang lari-lari dari halte menuju tempat kursus karena bangunnya telat atau karena sedang terjadi kemacetan. Pernah beberapa kali juga pulang malam karena mempelajari yang belum dimengerti. Yah semua kulakukan demi satu tujuan yaitu kuliah di Jawa.

Ujian masuk universitas barupun telah dimulai, sudah kupersiapkan jauh-jauh hari dengan khatam buku latihan ujian, mengikuti kursus, hingga tryout juga kujalani. Apapun yang terjadi, aku akan menghadapinya. Ujian kukerjakan dengan sungguh-sungguh. Aku mengakhiri ujian setelah beberapa orang keluar dari ruangan. Selepas ujian, memang sudah kuniatkan untuk pulang kampung, aku langsung menuju terminal, tanpa tiket bus sebelumnya. Aku mengantri di loket, Alhamdulillah dapet juga tiket bis yang murah dan jarang tersedia walaupun jauh-jauh hari dipesan. Tanpa berganti baju dan sepatu selepas ujian, aku naik bis menuju ke kabupatenku, sudah kubawa beberapa barang saja dalam ransel. Alhamdulillah hati lega setelah ujian dilaksanakan.

Bersambung....