Jumat, 19 Agustus 2016

Cerpen: Dream

            Pagi ini grimis tiba-tiba datang ke desaku pada bulan Agustus yang seharusnya bukan musim hujan. Baru saja kemarin aku pulang dari Ibukota ke kampung halaman yang penuh dengan kenangan. Pagi ini matahari pun malu-malu untuk menampakan dirinya. Suara burung, ayam dan sapu lidi terdengar begitu menakjupkan walaupun kadang disertai suara kendaraan yang menggangu seperti layaknya di ibukota. Suara sandal dari tetangga yang lewat juga sangat unik. Beberapa hal yang tidak aku temukan di kota metropolitan.
            Dalam masa cuti ini, aku masih berkutat dengan huruf dan angka project dari kantor yang harus diselesaikan. Memang menjadi pekerja kantoran seakan seperti mesin yang setiap waktu harus mau di ajak kerja demi tercapai target bulanan. Seperti kebiasaan aku dari 5 tahun yang lalu, duduk di teras rumah dengan ditemani kopi dan ketela rebus yang keduanya beruap karena masih panas. Dengan tidak sengaja, aku menjatuhkan gelas kopi yang belum sempat aku minum. Tiba-tiba ingatan yang telah lalu terputar dengan jelas di otakku.
            Namaku Rani, aku masih berusia sangat muda yaitu 18 tahun masih bersekolah di SMA terbaik di kotaku. Aku selalu bersemangat setiap akan berangkat sekolah karena sudah punya tujuan untuk masa depan, yaitu melanjutkan impian dari masa kecilku untuk menjadi dokter. Aku selalu berusaha keras dan rajin berdoa. Aku berada dalam deretan siswa berprestasi di sekolah. Aku biasa maju kedepan saat upacara tahun ajaran baru karena semester lalu mendapat juara paralel. Disaat yang lain pulang ke rumah setelah jam pelajaran berakhir, aku masih disekolah untuk mengerjakan tugas. Jika tugas sudah selesai dari siang maka sore hingga malam aku masih bisa belajar pelajaran yang telah lalu dan yang akan datang. Keuangan keluargaku juga dirasa cukup untuk membiayai sekolah kedokteranku nanti karena ayahku adalah seorang manager di perusahaan mebel yang bonafit. Ibuku sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengurusi sawah yang hanya 2 petak warisan keluarga. Aku punya 1 kakak laki-laki yang sedang berkuliah jurusan TI di kampus swasta di kota kami.
Rumah keluarga kami cukup besar jika dibandingkan dengan tetangga-tetangga. Kami juga dihormati di desa kami, dibuktikan saat kami ikut organisasi di desa pasti kami ditunjuk menjadi pengurus inti. Ya begitulah, kehidupan kami berjalan. Kebiasaan pagiku sebelum berangkat sekolah, yaitu duduk di teras rumah ditemani ayah minum kopi bersama. Tapi kali ini ada yang berbeda, Ayah menyuruhku membuatkan kopi yang sama dengan yang aku minum. 1 gelas dengan racikan: kopi hitam setengah sendok teh ditambah creamer 2 sendok makan dan dengan gula 2 sendok. Sebenarnya Ayah terbiasa minum kopi hitam. Tapi sekarang Ayah menjadi pecinta kopi yang aku buatkan. Setiap pagi aku membuat 2 gelas kopi untuk kami berdua.
            Kakak laki-laki yang biasa aku pangil dengan Mas Indra adalah seperti kakak pada umumnya. Kami dekat tapi jarang saling sharing. Hubungan kami hanya sebatas saling bantu yaitu antar jemput jika terjadi sesuatu dengan salah satu motor kami. Jika motor kami ada yang bocor/rusak maka Mas Indra mengantarku ke sekolah, jika sudah pulang sekolah maka dia menjemputku. Ya hanya seperti itu. Saling menyapa jika dirumah, dan tanpa tahu apa yang didalam hati masing-masing. Setelah beberapa waktu aku tahu bahwa ternyata Mas Indra perhatian denganku. Dibuktikan saat aku ngobrol dengan Mas Wildan pemilik kafe yang biasa aku main dengan teman-temanku. Mas Wildan adalah teman Mas Indra. Dia bercerita bahwa mas Indra meminta tolong kepadanya agar menjagaku saat aku disini. Katanya lagi padahal Mas Indra jarang sekali bilang minta tolong dengan serius kepadanya. Baru sadar bahwa Mas Indra sangat care kepadaku. Saat aku sakit juga Mas Indra yang banyak mengurusiku. Mas Indra juga sering membantuku untuk mencarikan apa yang aku butuhkan untuk kebutuhan sekolahku. Tinggal bilang saja pada hari itu langsung dicarikan hingga dapat. Awalnya aku kira itu hanya merupakan kewajibannya, tetapi semakin lama aku tahu bahwa itu dilakukannya dengan tulus dan rasa kasih sayang.
            Pagi ini, ada yang berbeda dengan Ayah. Ayah yang biasanya sudah berpakaian rapi ke kantor, ini masih pakai sarung dan kaus saat menemaniku minum kopi. Tanyaku kepadanya, “Ayah kok belum siap-siap?” Jawabnya dengan bersemangat, “ Iyaa, Ayah hari ini libur.” Walaupun aku tidak yakin dengan jawaban itu, karena kantor Ayah sangat jarang memberikan libur pada karyawannya. Pada hari raya pun sering tidak libur karena target harus terpenuhi. Tapi ya sudahlah biar saja, aku pun tidak sempat untuk menanyakan lebih jauh karena akan berangkat sekolah. Pikirku nanti saja saat pulang aku tanyakan kepada Ayah.
            Hari ini banyak guru memberikan tugas. Seperti biasa selepas pulang sekolah, aku kerjakan tugas tersebut di sekolah. 2 jam sudah aku mengerjakan tugas tetapi belum juga selesai, seperti biasa Mang Giman tukang kebun di sekolah mengingatkanku untuk segera pulang karena sudah jam 5 sore dan sekolah akan segera ditutup. Yasudah, aku pulang dengan beban tugas yang harus diselesaikan. Sesampainya dirumah aku melakukan kebiasaan sore seperti mandi, makan, beribadah dsb. Setelah jam 7 malam aku melanjutkan mengerjakan tugas sekolah dan belajar hingga tengah malam. Aku baru ingat sebelum tidur bahwa aku tidak sempat menanyakan tentang Ayah. Pikirku lagi yasudah besuk pagi saja.
             Pagi ini, aku bangun telat karena kemarin tidurnya larut malam. Jadi aku sangat buru-buru berangkat ke sekolah, melewatkan kopi dan obrolan dengan Ayah. Lagi-lagi aku berfikir yasudah nanti sore saja aku tanyakan, karena hari ini aku melihat Ayah tidak berangkat kerja lagi. Saat kami makan malam, aku menanyakan hal tersebut kepadanya. Ayah cerita bahwa saat ini usaha mebel sedang terpuruk karena terjadi inflasi yang tinggi sehingga orang-orang lebih memilih mengunakan uangnya untuk kebutuhan pokok seperti makan, sekolah, dsb. Hal tersebut membuat pemilik pabrik menutup usaha tersebut karena selalu defisit beberapa bulan belakangan. Ayah sedang berusaha mencari pekerjaan baru dengan menanyakan kepada rekan-rekan kerja. Ayah bercerita bahwa belum menemukan pekerjaan baru. Aku sungguh sangat khawatir jika Ayah tidak bekerja maka impianku terancam gagal karena hampir tidak ada beasiswa untuk jurusan kedokteran. Akan tetapi aku menyembunyikannya dari Ayah.
            Tinggal 1 bulan lagi aku akan menjalani ujian nasional dan selanjutnya menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Aku masih punya harapan karena aku tahu Ayah sangat bersemangat mencari pekerjaan baru. Aku masih tetap belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi. Aku juga masih sering bangun di tengah malam untuk berdoa. Impianku masih sama yaitu menjadi dokter walaupun sudah 3 minggu Ayah belum juga menemukan pekerjaan baru. Teman-temannya tidak mau menerima Ayah bekerja karena tidak bisa mengaji Ayah sebesar saat menjadi manager dulu. Ayah terus memaksa mereka agar memberi gaji seadanya, tetapi mereka tidak tega untuk melakukan itu. Ayah terus mencari cara untuk menghasilkan uang agar impianku dan Mas Indra dapat terwujud.
            Waktu berjalan begitu saja dengan keadaan Ayah yang mulai sakit-sakitan karena beban pikiran yang sangat berat, disaat anak-anaknya membutuhkan biaya di pendidikan tinggi, sumber keuangan keluarga kami hilang. Keadaan Ayah sangat terpuruk, walaupun Ibu selalu menenangkannya dan tidak pernah menuntut. Ibu tidak pernah terlihat khawatir apalagi marah dihadapan Ayah saat terjadi masa-masa sulit seperti ini. Dengan keadaan keluarga kami yang seperti itu, aku sekarang lebih banyak berfikir tentang masa depan keluarga kami. Mas Indra masih 2 tahun lagi untuk wisuda, padahal biaya kuliah Mas Indra di Perguruan Tinggi Swasta sangat mahal. Biayanya mencapai 3 kali lipat jika dibandingkan pada Perguruan Tinggi Negeri. Ibu pun juga mengambil uang tabungan untuk kebutuhan sehari-hari, yang sebenarnya untuk tabungan pendidikan kami.
            Ujian Nasional aku jalani dengan semangat, walaupun terjadi perubahan pola soal menjadi lebih sulit dari tahun lalu. Setelah ujian nasional selesai aku semakin banyak berfikir tentang apakah aku melanjutkan impianku atau tidak. Aku sungguh tidak tahu jalan keluarnya. Pukul 5 sore aku biasa melihat segerombolan burung lewat di atas rumah untuk pulang kesarangnya setelah seharian mencari makan. Mas Indra tiba-tiba menghampiriku dan menanyakan, “Kenapa sih sering amat didepan rumah, nungguin siapa?” tanyanya sambil sedikit mengoda. Hanya ku jawab dengan senyuman saja. Dia lalu memulai pembicaraan tentang keinginanku menjadi dokter. Aku bilang ke Mas Indra, “ Entahlah mas. Aku gak tau. Kayaknya gak jadi deh. Hehehe.” Mas Indra lalu bicara, “Loh, siapa ini? Kayaknya ini bukan adek Mas deh. Kan kamu orang yang paling getol mengejar impian.” Mas Indra tahu banget siapa adeknya ini. Aku belajar belakangan ini dari pagi hingga malam, setiap buka kamarku, dia lihat aku belajar terus. Sampai dia bilang, “ Belajar mulu, sekali-kali main sana. Keluar kemana kek. Pasti ketrima deh gak usah khawatir dek.” Yah dia selalu berhasil membuatku tenang. Ditengah-tengah lamunanku tersebut, dia mengangetkanku dengan bicara, “ Yaudah, Mas Indra gak usah daftar ulang aja ya semester depan. Uangnya buat kamu kuliah aja. Mas Indra juga udah pusing kuliah mulu. Hehehe. Mas Indra udah pengen kerja aja siapa tahu bisa bantu biaya kuliahmu.” Sontak mendengar kata-kata Mas Indra aku langsung marah, “ Bukan begitu jalan keluarnya.” Lalu aku pergi masuk ke dalam dengan keadaan marah dengan Mas Indra.
            Aku terlihat ceria dihadapan Ibu dan Ayah, dan masih bisa bercanda dalam keadaan keluarga kami yang sedang terpuruk. Ayah juga setiap minggu datang ke dokter keluarga kami, migrain Ayah semakin memburuk karena pikiran Ayah tidak tenang. Aku masih tidak bisa ngobrol dengan Mas Indra karena Mas Indra gampang sekali menyerah dalam keadaan keluarga kami. Aku sedang berfikir keras gimana caranya bisa keluar dari masalah kami ini. Aku mulai dari menghitung tabungan Ayah, aset yang bisa dijual. Setelah dapat semua, lalu aku juga menghitung biaya kehidupan sehari-hari kami dan biaya kuliahku dengan Mas Indra misal kami berdua melanjutkan kuliah. Aku saat ini hanya bisa diskusi dengan Ibu karena Ayah tidak memungkinkan untuk diajak mikir dan Mas Indra yang nyebelin itu masih berfikiran sama sepertinya. Tentunya aku juga masih menyiapkan untuk ujian masuk perguruan tinggi.
            Semakin dekat dengan pendaftaran ujian, aku semakin tidak tenang. Jika semua aset kami jual dan ditambah sisa tabungan Ayah, kami hanya dapat kuliah 1 tahun. Biaya kuliah kedokteran yang sangat mahal, belum lagi kebutuhan selama kuliah juga mahal. Untuk wisuda Mas Indra butuh 2 tahun lagi. Huft, aku sangat bingung dengan semua itu. Jika aku tidak kuliah, dan Mas Indra kuliah maka hanya sampai 1.5 tahun. Aku mulai berfikir sama dengan Mas Indra. Mending aku tidak kuliah dan bekerja saja, agar Mas Indra bisa selesai sampai wisuda. Akhirnya aku tahu bagaimana pola pikir Mas Indra. Berkorban untuk saudaranya, itu yang difikirkan Mas Indra. Tetapi jika Mas Indra berhenti kuliah dan aku lanjut kuliah, itu juga tidak bisa ku terima, karena mengorbankan masa depan saudara demi keegoisan mengejar cita-cita. Semua pilihan sungguh membuatku sangat pusing dan hampir frustasi.
Aku duduk di ruang tamu sambil memegang gelas kopi yang belum sempat aku minum. Ayah datang kepadaku dan bilang, “Dek, Ayah gak bisa biayai kamu kuliah kedokteran. Maafkan Ayah ya.” Lalu Ayah tiba-tiba pingsan dan aku dengan tidak sengaja menjatuhkan gelas kopi tersebut dan bersegera menghampiri Ayah dan berteriak histeris meminta tolong. Lalu kami bawa Ayah kerumah sakit. Ternyata Ayah tidak apa-apa, hanya karena banyak fikiran sehingga tubuhnya drop. Kami bawa Ayah pulang karena tidak disuruh opname.
            Malamnya, aku menemani Ayah yang masih lemas dan terbaring di tempat tidur. Ayah memulai pembicaraan lagi, dengan menanyakan, “ Gimana dek? Bentar lagi pendaftaran kan.” Jujur saja aku juga sudah tidak tahu lagi mau jawab gimana. Aku hanya meneteskan air mata, lalu keluar dari kamar Ayah dan menangis dengan sejadi-jadinya karena dalamnya rasa sedihku. Lalu Mas Indra datang dan memeluk untuk menenangkanku. Katanya dengan sangat bijak,” Sudah dek tidak usah menangis, nanti kita cari jalan keluarnya ya.”
Bangun tidur aku demam tinggi, rasanya sangat pusing dan lemas saat jalan, jadi aku masih berada di kasur setelah shalat subuh. Aku belum keluar sarapan, lalu Mas Indra ke kamarku. “Dek bangun, ayo sarapan dulu. Loh kok panas banget badannya.” tanyanya sambil memegang keningku. Lalu Mas Indra mengambilkan sarapan dan obat untukku. Ibu masih mengurusi Ayah, jadi Mas Indra yang mengurusiku. Setelah sarapan dengan tidak sengaja aku mual dan muntah. Mas Indra yang membersihkannya. Yaampun Mas Indra baik banget sih. huhuhu. Aku baru tahu bahwa dia sangat sayang kepadaku. Selama 18 tahun aku baru sadar punya Mas yang benar-benar peduli denganku walaupun kadang-kadang cuek dan beda pendapat.
            Setelah aku sembuh, kami lalu membicarakan tentang masa depan keluarga kami. Ayah kali ini dalam keadaannya membaik dari migrain-nya, karena Ayah mulai menerima bahwa saat ini tidak sama seperti dulu yang gampang sekali mencari uang. Mas Indra duduk disampingku, Ayah dan Ibu dikursi didepan kami. Memang tempat ini biasa untuk kami kumpul dan bermalas-malasan berjamaah, karena kursinya yang sangat empuk dan ruangannya di rancang dengan sangat nyaman. Ayah mulai dengan menanyakan, “Bagaimana keadaan mimpi-mimpi kalian?”. Aku hanya bisa tersenyum simpul dan Mas Indra hanya bisa memandangiku. Lalu Ayah menambahkan lagi, “ Sepertinya Ayah dan Ibu tidak bisa membiayai kuliah kalian lagi, ada tabungan pendidikan kalian yang tinggal beberapa karena sudah dipakai untuk kehidupan kita selama 2 bulan Ayah tidak bekerja. Ayah akan mencari pekerjaan di industri lain karena industri mebel sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ya susah sih, umur Ayah yang sudah tua, dan sepertinya sulit kalau cari pekerjaan. Tapi pekerjaan apapun itu akan Ayah terima. Saat ini kalian berdua sudah dewasa, dan bisa menentukan masa depan kalian masing-masing. Ayah dan Ibu mendukung apapun keputusan kalian.” Mas indra bicara dengan muka serius yang jarang sekali aku lihat, “ Kami akan memikirkan dulu ya Yah, jika sudah ketemu solusinya akan kami beri tahu.” Karena sungguh rasanya pusing sekali. Aku meletakkan kepalaku di pundak Mas Indra. Wuwuwu sedikit lebih nyaman rasanya.
            Belakangan ini, aku dan Mas Indra banyak berdiskusi. Besuk adalah hari pendaftaran masuk perguruan tinggi. Kali ini kami berada di kursi belakang rumah, karena anginnya lumayan menyejukkan disana. Sungguh Mas Indra dan aku masih saja mempertahankan pendapat kami, yaitu membiarkan saudaranya kuliah dan memilih bekerja saja. Kami juga memikirkan keadaan Ayah dan Ibu. Kami tidak tega jika harus mengambil uang itu karena keadaannya sudah beda dengan yang dulu. Setiap kami diskusi hanya berakhir dengan ketidakpastian. Akan tetapi hari ini aku harus dapat keputusan karena besuk sudah harus mendaftar jika impianku masih bisa diteruskan. Kami mempertimbangkan setiap pilihan, baik dan buruknya. Akhirnya, kami tidak bisa mengunakan uang tabungan itu. Karena jika kami memakai uang tabungan itu, Ayah dan Ibu tidak punya jaminan masa tua apalagi sekarang keadaannya seperti ini. Kami juga tidak bisa menjual rumah, mobil, dan aset lain karena kami tidak mau menempatkan orang tua kami dalam keadaan yang susah, yang seharusnya bisa menikmati masa tuanya. Kami harus berjuang meraih impian kami masing-masing.
            Dengan sangat berat hati dan disertai tangisan semalam penuh, aku melepaskan impianku yang sudah aku perjuangkan dengan sepenuh hati. Aku juga memutar musik semalaman penuh agar tidak terdengar tangisanku oleh Ayah dan Ibu. Semalam Mas Indra juga tidak pulang, aku rasa dia tidak ingin dilihat keluarganya ketika sedih. Kami memutuskan untuk bekerja saja, jika aku kuliah, Mas Indra juga belum pasti dapat membiayai kuliahku, karena mahalnya sekolah kedokteran, begitu juga sebaliknya jika Mas Indra kuliah, aku juga belum tentu dapat membiayainya karena kampus Mas Indra biayanya sangat besar. Yah, begitulah keputusan terberat selama hidup kami. Kami melepaskan impian-impian kami.
            Hari ini aku membuka internet, bukan mendaftar ujian tetapi mencari informasi lowongan pekerjaan. Mas Indra pun sama, saat ini dia mencari pekerjaan. Dia baru akan mulai bekerja setelah aku mendapat pekerjaan, karena Mas Indra tidak tega meninggalkan adeknya sendiri menganggur. Mas Indra sudah diterima bekerja di Bank karena koneksi pertemanan Mas Indra luas sekali, sehingga dengan mudah dia mendapat pekerjaan. Sementara aku masih menunggu untuk wawancara perusahaan dari Jakarta. Aku mendaftar staff pemasaran pada produk makanan dari perusahaan tersebut. Sedangkan Mas Indra menjadi petugas lapangan di Bank swasta.
            Wawancara pun telah aku lakukan dan diterima di perusahaan tersebut. Aku mulai merantau ke ibukota dengan dilepas tangisan Ayah dan Ibu di stasiun. Aku menjadi staff dalam divisi pemasaran, pekerjaan banyak diberikan oleh kepala divisi kepadaku, karena aku cepat dalam melaksanakan tugas dan tidak pernah mengeluh. Hari demi hari pun aku lalui dengan semangat, meskipun banyak yang iri dan ingin menjatuhkanku, karena aku adalah pekerja baru yang langsung disukai pimpinan. Aku hanya memiliki satu teman disini yang umurnya 5 tahun diatasku, namanya Mbak Citra. Mbak Citra mempunyai pribadi yang sangat baik dan shalihah. Sehingga saat ini aku dibimbing olehnya dalam segala hal. Dia tahu aku belum punya banyak uang, jadi dia selalu mentraktirku saat kami nonton dan makan. Aku ikut kelompok kecil pengajian Mbak Citra dan teman-temannya. Banyak sekali ilmu agama yang aku dapatkan melalui kelompok tersebut. Kami sering mengkaji ilmu-ilmu agama tidak hanya dari satu sumber tetapi dari banyak sumber. Kami kumpul satu minggu sekali.
            Tiba-tiba ibu mengangetkan lamunanku dengan bertanya,” Apa tadi yang pecah dek?” Dengan ekspresi kaget dan bingung aku menjawab, “Itu bu, gelasnya gak sengaja jatuh.” Aku membereskan pecahan gelas tersebut dan segera menyelesaikan project dari kantor. Segera aku berucap syukur. Hidupku selama ini seperti segelas kopi kesukaanku, ada pahitnya, ada manisnya, ada enaknya diaduk menjadi satu, sehingga sangat nikmat untuk diminum. Jika tidak ada pahit dalam hidupku, aku tidak dapat mensyukuri apa yang manis dan enak dihidupku. Jika tidak ada manis dalam hidupku, entah aku dapat menjalani atau tidak, seperti kopi tanpa gula dan creamer, rasanya pahit membuatku tidak sanggup meminumnya.
Setiap 3 bulan sekali aku pulang ke rumah Ayah dan Ibu pada akhir pekan, lalu kembali lagi merantau, hal tersebut aku lakukan selama 5 tahun terakhir ini. Yah, menjadi pekerja pabrik yang sepertinya akan menjadi selamanya karena sudah terlanjur nyaman, setiap 4 tahun kami mengalami kenaikan pangkat yang ditentukan dari kinerja. Dan sepertinya impianku saat ini telah berganti menjadi pimpinan yang tinggi di perusahaan tersebut. Ayah dan Ibu sudah menjadi petani yang tenang dan damai walaupun hanya punya lahan sedikit. Mas Indra sudah mempunyai istri dan anak laki-laki. Kami bahagia meskipun impian kami tidak sama seperti dulu. Walaupun dalam secangkir kopi tetap ada pahitnya, itu yang membuat nikmat untuk diminum. Begitupun hidup kami, tetap terdapat cobaan-cobaan hidup yang harus dihadapi dan dijalani, akan membuat kami naik level menjadi manusia yang lebih baik lagi.


Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com




2 komentar: