Pagi ini grimis tiba-tiba datang ke
desaku pada bulan Agustus yang seharusnya bukan musim hujan. Baru saja kemarin aku
pulang dari Ibukota ke kampung halaman yang penuh dengan kenangan. Pagi ini
matahari pun malu-malu untuk menampakan dirinya. Suara burung, ayam dan sapu
lidi terdengar begitu menakjupkan walaupun kadang disertai suara kendaraan yang
menggangu seperti layaknya di ibukota. Suara sandal dari tetangga yang lewat
juga sangat unik. Beberapa hal yang tidak aku temukan di kota metropolitan.
Dalam masa cuti ini, aku masih
berkutat dengan huruf dan angka project
dari kantor yang harus diselesaikan. Memang menjadi pekerja kantoran seakan
seperti mesin yang setiap waktu harus mau di ajak kerja demi tercapai target
bulanan. Seperti kebiasaan aku dari 5 tahun yang lalu, duduk di teras rumah
dengan ditemani kopi dan ketela rebus yang keduanya beruap karena masih panas.
Dengan tidak sengaja, aku menjatuhkan gelas kopi yang belum sempat aku minum. Tiba-tiba
ingatan yang telah lalu terputar dengan jelas di otakku.
Namaku Rani, aku masih berusia
sangat muda yaitu 18 tahun masih bersekolah di SMA terbaik di kotaku. Aku selalu
bersemangat setiap akan berangkat sekolah karena sudah punya tujuan untuk masa
depan, yaitu melanjutkan impian dari masa kecilku untuk menjadi dokter. Aku
selalu berusaha keras dan rajin berdoa. Aku berada dalam deretan siswa
berprestasi di sekolah. Aku biasa maju kedepan saat upacara tahun ajaran baru
karena semester lalu mendapat juara paralel. Disaat yang lain pulang ke rumah
setelah jam pelajaran berakhir, aku masih disekolah untuk mengerjakan tugas. Jika
tugas sudah selesai dari siang maka sore hingga malam aku masih bisa belajar
pelajaran yang telah lalu dan yang akan datang. Keuangan keluargaku juga dirasa
cukup untuk membiayai sekolah kedokteranku nanti karena ayahku adalah seorang
manager di perusahaan mebel yang bonafit.
Ibuku sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengurusi sawah yang hanya 2 petak
warisan keluarga. Aku punya 1 kakak laki-laki yang sedang berkuliah jurusan TI
di kampus swasta di kota kami.
Rumah keluarga kami cukup besar
jika dibandingkan dengan tetangga-tetangga. Kami juga dihormati di desa kami,
dibuktikan saat kami ikut organisasi di desa pasti kami ditunjuk menjadi
pengurus inti. Ya begitulah, kehidupan kami berjalan. Kebiasaan pagiku sebelum
berangkat sekolah, yaitu duduk di teras rumah ditemani ayah minum kopi bersama.
Tapi kali ini ada yang berbeda, Ayah menyuruhku membuatkan kopi yang sama
dengan yang aku minum. 1 gelas dengan racikan: kopi hitam setengah sendok teh
ditambah creamer 2 sendok makan dan dengan gula 2 sendok. Sebenarnya Ayah
terbiasa minum kopi hitam. Tapi sekarang Ayah menjadi pecinta kopi yang aku
buatkan. Setiap pagi aku membuat 2 gelas kopi untuk kami berdua.
Kakak laki-laki yang biasa aku
pangil dengan Mas Indra adalah seperti kakak pada umumnya. Kami dekat tapi
jarang saling sharing. Hubungan kami
hanya sebatas saling bantu yaitu antar jemput jika terjadi sesuatu dengan salah
satu motor kami. Jika motor kami ada yang bocor/rusak maka Mas Indra
mengantarku ke sekolah, jika sudah pulang sekolah maka dia menjemputku. Ya
hanya seperti itu. Saling menyapa jika dirumah, dan tanpa tahu apa yang didalam
hati masing-masing. Setelah beberapa waktu aku tahu bahwa ternyata Mas Indra
perhatian denganku. Dibuktikan saat aku ngobrol dengan Mas Wildan pemilik kafe
yang biasa aku main dengan teman-temanku. Mas Wildan adalah teman Mas Indra.
Dia bercerita bahwa mas Indra meminta tolong kepadanya agar menjagaku saat aku
disini. Katanya lagi padahal Mas Indra jarang sekali bilang minta tolong dengan
serius kepadanya. Baru sadar bahwa Mas Indra sangat care kepadaku. Saat aku sakit juga Mas Indra yang banyak
mengurusiku. Mas Indra juga sering membantuku untuk mencarikan apa yang aku
butuhkan untuk kebutuhan sekolahku. Tinggal bilang saja pada hari itu langsung
dicarikan hingga dapat. Awalnya aku kira itu hanya merupakan kewajibannya,
tetapi semakin lama aku tahu bahwa itu dilakukannya dengan tulus dan rasa kasih
sayang.
Pagi ini, ada yang berbeda dengan
Ayah. Ayah yang biasanya sudah berpakaian rapi ke kantor, ini masih pakai
sarung dan kaus saat menemaniku minum kopi. Tanyaku kepadanya, “Ayah kok belum
siap-siap?” Jawabnya dengan bersemangat, “ Iyaa, Ayah hari ini libur.” Walaupun
aku tidak yakin dengan jawaban itu, karena kantor Ayah sangat jarang memberikan
libur pada karyawannya. Pada hari raya pun sering tidak libur karena target
harus terpenuhi. Tapi ya sudahlah biar saja, aku pun tidak sempat untuk
menanyakan lebih jauh karena akan berangkat sekolah. Pikirku nanti saja saat
pulang aku tanyakan kepada Ayah.
Hari ini banyak guru memberikan
tugas. Seperti biasa selepas pulang sekolah, aku kerjakan tugas tersebut di
sekolah. 2 jam sudah aku mengerjakan tugas tetapi belum juga selesai, seperti
biasa Mang Giman tukang kebun di sekolah mengingatkanku untuk segera pulang
karena sudah jam 5 sore dan sekolah akan segera ditutup. Yasudah, aku pulang
dengan beban tugas yang harus diselesaikan. Sesampainya dirumah aku melakukan
kebiasaan sore seperti mandi, makan, beribadah dsb. Setelah jam 7 malam aku
melanjutkan mengerjakan tugas sekolah dan belajar hingga tengah malam. Aku baru
ingat sebelum tidur bahwa aku tidak sempat menanyakan tentang Ayah. Pikirku
lagi yasudah besuk pagi saja.
Pagi ini, aku bangun telat karena kemarin
tidurnya larut malam. Jadi aku sangat buru-buru berangkat ke sekolah,
melewatkan kopi dan obrolan dengan Ayah. Lagi-lagi aku berfikir yasudah nanti
sore saja aku tanyakan, karena hari ini aku melihat Ayah tidak berangkat kerja
lagi. Saat kami makan malam, aku menanyakan hal tersebut kepadanya. Ayah cerita
bahwa saat ini usaha mebel sedang terpuruk karena terjadi inflasi yang tinggi
sehingga orang-orang lebih memilih mengunakan uangnya untuk kebutuhan pokok
seperti makan, sekolah, dsb. Hal tersebut membuat pemilik pabrik menutup usaha
tersebut karena selalu defisit
beberapa bulan belakangan. Ayah sedang berusaha mencari pekerjaan baru dengan
menanyakan kepada rekan-rekan kerja. Ayah bercerita bahwa belum menemukan
pekerjaan baru. Aku sungguh sangat khawatir jika Ayah tidak bekerja maka
impianku terancam gagal karena hampir tidak ada beasiswa untuk jurusan
kedokteran. Akan tetapi aku menyembunyikannya dari Ayah.
Tinggal 1 bulan lagi aku akan
menjalani ujian nasional dan selanjutnya menghadapi ujian masuk perguruan
tinggi. Aku masih punya harapan karena aku tahu Ayah sangat bersemangat mencari
pekerjaan baru. Aku masih tetap belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi. Aku
juga masih sering bangun di tengah malam untuk berdoa. Impianku masih sama
yaitu menjadi dokter walaupun sudah 3 minggu Ayah belum juga menemukan
pekerjaan baru. Teman-temannya tidak mau menerima Ayah bekerja karena tidak
bisa mengaji Ayah sebesar saat menjadi manager
dulu. Ayah terus memaksa mereka agar memberi gaji seadanya, tetapi mereka tidak
tega untuk melakukan itu. Ayah terus mencari cara untuk menghasilkan uang agar
impianku dan Mas Indra dapat terwujud.
Waktu berjalan begitu saja dengan
keadaan Ayah yang mulai sakit-sakitan karena beban pikiran yang sangat berat,
disaat anak-anaknya membutuhkan biaya di pendidikan tinggi, sumber keuangan
keluarga kami hilang. Keadaan Ayah sangat terpuruk, walaupun Ibu selalu
menenangkannya dan tidak pernah menuntut. Ibu tidak pernah terlihat khawatir
apalagi marah dihadapan Ayah saat terjadi masa-masa sulit seperti ini. Dengan
keadaan keluarga kami yang seperti itu, aku sekarang lebih banyak berfikir
tentang masa depan keluarga kami. Mas Indra masih 2 tahun lagi untuk wisuda,
padahal biaya kuliah Mas Indra di Perguruan Tinggi Swasta sangat mahal.
Biayanya mencapai 3 kali lipat jika dibandingkan pada Perguruan Tinggi Negeri.
Ibu pun juga mengambil uang tabungan untuk kebutuhan sehari-hari, yang
sebenarnya untuk tabungan pendidikan kami.
Ujian Nasional aku jalani dengan
semangat, walaupun terjadi perubahan pola soal menjadi lebih sulit dari tahun
lalu. Setelah ujian nasional selesai aku semakin banyak berfikir tentang apakah
aku melanjutkan impianku atau tidak. Aku sungguh tidak tahu jalan keluarnya.
Pukul 5 sore aku biasa melihat segerombolan burung lewat di atas rumah untuk
pulang kesarangnya setelah seharian mencari makan. Mas Indra tiba-tiba menghampiriku
dan menanyakan, “Kenapa sih sering amat didepan rumah, nungguin siapa?”
tanyanya sambil sedikit mengoda. Hanya ku jawab dengan senyuman saja. Dia lalu
memulai pembicaraan tentang keinginanku menjadi dokter. Aku bilang ke Mas
Indra, “ Entahlah mas. Aku gak tau. Kayaknya gak jadi deh. Hehehe.” Mas Indra
lalu bicara, “Loh, siapa ini? Kayaknya ini bukan adek Mas deh. Kan kamu orang
yang paling getol mengejar impian.” Mas Indra tahu banget siapa adeknya ini. Aku
belajar belakangan ini dari pagi hingga malam, setiap buka kamarku, dia lihat
aku belajar terus. Sampai dia bilang, “ Belajar mulu, sekali-kali main sana.
Keluar kemana kek. Pasti ketrima deh gak usah khawatir dek.” Yah dia selalu
berhasil membuatku tenang. Ditengah-tengah lamunanku tersebut, dia
mengangetkanku dengan bicara, “ Yaudah, Mas Indra gak usah daftar ulang aja ya
semester depan. Uangnya buat kamu kuliah aja. Mas Indra juga udah pusing kuliah
mulu. Hehehe. Mas Indra udah pengen kerja aja siapa tahu bisa bantu biaya
kuliahmu.” Sontak mendengar kata-kata Mas Indra aku langsung marah, “ Bukan
begitu jalan keluarnya.” Lalu aku pergi masuk ke dalam dengan keadaan marah
dengan Mas Indra.
Aku terlihat ceria dihadapan Ibu dan
Ayah, dan masih bisa bercanda dalam keadaan keluarga kami yang sedang terpuruk.
Ayah juga setiap minggu datang ke dokter keluarga kami, migrain Ayah semakin memburuk karena pikiran Ayah tidak tenang. Aku
masih tidak bisa ngobrol dengan Mas Indra karena Mas Indra gampang sekali
menyerah dalam keadaan keluarga kami. Aku sedang berfikir keras gimana caranya
bisa keluar dari masalah kami ini. Aku mulai dari menghitung tabungan Ayah,
aset yang bisa dijual. Setelah dapat semua, lalu aku juga menghitung biaya
kehidupan sehari-hari kami dan biaya kuliahku dengan Mas Indra misal kami
berdua melanjutkan kuliah. Aku saat ini hanya bisa diskusi dengan Ibu karena
Ayah tidak memungkinkan untuk diajak mikir dan Mas Indra yang nyebelin itu
masih berfikiran sama sepertinya. Tentunya aku juga masih menyiapkan untuk
ujian masuk perguruan tinggi.
Semakin dekat dengan pendaftaran
ujian, aku semakin tidak tenang. Jika semua aset kami jual dan ditambah sisa
tabungan Ayah, kami hanya dapat kuliah 1 tahun. Biaya kuliah kedokteran yang
sangat mahal, belum lagi kebutuhan selama kuliah juga mahal. Untuk wisuda Mas
Indra butuh 2 tahun lagi. Huft, aku sangat bingung dengan semua itu. Jika aku
tidak kuliah, dan Mas Indra kuliah maka hanya sampai 1.5 tahun. Aku mulai
berfikir sama dengan Mas Indra. Mending aku tidak kuliah dan bekerja saja, agar
Mas Indra bisa selesai sampai wisuda. Akhirnya aku tahu bagaimana pola pikir
Mas Indra. Berkorban untuk saudaranya, itu yang difikirkan Mas Indra. Tetapi
jika Mas Indra berhenti kuliah dan aku lanjut kuliah, itu juga tidak bisa ku
terima, karena mengorbankan masa depan saudara demi keegoisan mengejar
cita-cita. Semua pilihan sungguh membuatku sangat pusing dan hampir frustasi.
Aku duduk di ruang tamu sambil
memegang gelas kopi yang belum sempat aku minum. Ayah datang kepadaku dan
bilang, “Dek, Ayah gak bisa biayai kamu kuliah kedokteran. Maafkan Ayah ya.”
Lalu Ayah tiba-tiba pingsan dan aku dengan tidak sengaja menjatuhkan gelas kopi
tersebut dan bersegera menghampiri Ayah dan berteriak histeris meminta tolong.
Lalu kami bawa Ayah kerumah sakit. Ternyata Ayah tidak apa-apa, hanya karena
banyak fikiran sehingga tubuhnya drop.
Kami bawa Ayah pulang karena tidak disuruh opname.
Malamnya, aku menemani Ayah yang
masih lemas dan terbaring di tempat tidur. Ayah memulai pembicaraan lagi,
dengan menanyakan, “ Gimana dek? Bentar lagi pendaftaran kan.” Jujur saja aku
juga sudah tidak tahu lagi mau jawab gimana. Aku hanya meneteskan air mata,
lalu keluar dari kamar Ayah dan menangis dengan sejadi-jadinya karena dalamnya
rasa sedihku. Lalu Mas Indra datang dan memeluk untuk menenangkanku. Katanya
dengan sangat bijak,” Sudah dek tidak usah menangis, nanti kita cari jalan
keluarnya ya.”
Bangun tidur aku demam tinggi,
rasanya sangat pusing dan lemas saat jalan, jadi aku masih berada di kasur
setelah shalat subuh. Aku belum keluar sarapan, lalu Mas Indra ke kamarku. “Dek
bangun, ayo sarapan dulu. Loh kok panas banget badannya.” tanyanya sambil memegang
keningku. Lalu Mas Indra mengambilkan sarapan dan obat untukku. Ibu masih
mengurusi Ayah, jadi Mas Indra yang mengurusiku. Setelah sarapan dengan tidak
sengaja aku mual dan muntah. Mas Indra yang membersihkannya. Yaampun Mas Indra
baik banget sih. huhuhu. Aku baru tahu bahwa dia sangat sayang kepadaku. Selama
18 tahun aku baru sadar punya Mas yang benar-benar peduli denganku walaupun
kadang-kadang cuek dan beda pendapat.
Setelah aku sembuh, kami lalu
membicarakan tentang masa depan keluarga kami. Ayah kali ini dalam keadaannya
membaik dari migrain-nya, karena Ayah
mulai menerima bahwa saat ini tidak sama seperti dulu yang gampang sekali
mencari uang. Mas Indra duduk disampingku, Ayah dan Ibu dikursi didepan kami.
Memang tempat ini biasa untuk kami kumpul dan bermalas-malasan berjamaah,
karena kursinya yang sangat empuk dan ruangannya di rancang dengan sangat
nyaman. Ayah mulai dengan menanyakan, “Bagaimana keadaan mimpi-mimpi kalian?”.
Aku hanya bisa tersenyum simpul dan Mas Indra hanya bisa memandangiku. Lalu
Ayah menambahkan lagi, “ Sepertinya Ayah dan Ibu tidak bisa membiayai kuliah
kalian lagi, ada tabungan pendidikan kalian yang tinggal beberapa karena sudah
dipakai untuk kehidupan kita selama 2 bulan Ayah tidak bekerja. Ayah akan
mencari pekerjaan di industri lain karena industri mebel sudah tidak bisa
diharapkan lagi. Ya susah sih, umur Ayah yang sudah tua, dan sepertinya sulit
kalau cari pekerjaan. Tapi pekerjaan apapun itu akan Ayah terima. Saat ini
kalian berdua sudah dewasa, dan bisa menentukan masa depan kalian
masing-masing. Ayah dan Ibu mendukung apapun keputusan kalian.” Mas indra
bicara dengan muka serius yang jarang sekali aku lihat, “ Kami akan memikirkan
dulu ya Yah, jika sudah ketemu solusinya akan kami beri tahu.” Karena sungguh
rasanya pusing sekali. Aku meletakkan kepalaku di pundak Mas Indra. Wuwuwu
sedikit lebih nyaman rasanya.
Belakangan ini, aku dan Mas Indra
banyak berdiskusi. Besuk adalah hari pendaftaran masuk perguruan tinggi. Kali
ini kami berada di kursi belakang rumah, karena anginnya lumayan menyejukkan
disana. Sungguh Mas Indra dan aku masih saja mempertahankan pendapat kami,
yaitu membiarkan saudaranya kuliah dan memilih bekerja saja. Kami juga
memikirkan keadaan Ayah dan Ibu. Kami tidak tega jika harus mengambil uang itu
karena keadaannya sudah beda dengan yang dulu. Setiap kami diskusi hanya
berakhir dengan ketidakpastian. Akan tetapi hari ini aku harus dapat keputusan
karena besuk sudah harus mendaftar jika impianku masih bisa diteruskan. Kami
mempertimbangkan setiap pilihan, baik dan buruknya. Akhirnya, kami tidak bisa
mengunakan uang tabungan itu. Karena jika kami memakai uang tabungan itu, Ayah
dan Ibu tidak punya jaminan masa tua apalagi sekarang keadaannya seperti ini.
Kami juga tidak bisa menjual rumah, mobil, dan aset lain karena kami tidak mau
menempatkan orang tua kami dalam keadaan yang susah, yang seharusnya bisa
menikmati masa tuanya. Kami harus berjuang meraih impian kami masing-masing.
Dengan sangat berat hati dan
disertai tangisan semalam penuh, aku melepaskan impianku yang sudah aku
perjuangkan dengan sepenuh hati. Aku juga memutar musik semalaman penuh agar
tidak terdengar tangisanku oleh Ayah dan Ibu. Semalam Mas Indra juga tidak
pulang, aku rasa dia tidak ingin dilihat keluarganya ketika sedih. Kami
memutuskan untuk bekerja saja, jika aku kuliah, Mas Indra juga belum pasti
dapat membiayai kuliahku, karena mahalnya sekolah kedokteran, begitu juga
sebaliknya jika Mas Indra kuliah, aku juga belum tentu dapat membiayainya
karena kampus Mas Indra biayanya sangat besar. Yah, begitulah keputusan
terberat selama hidup kami. Kami melepaskan impian-impian kami.
Hari ini aku membuka internet, bukan
mendaftar ujian tetapi mencari informasi lowongan pekerjaan. Mas Indra pun
sama, saat ini dia mencari pekerjaan. Dia baru akan mulai bekerja setelah aku
mendapat pekerjaan, karena Mas Indra tidak tega meninggalkan adeknya sendiri
menganggur. Mas Indra sudah diterima bekerja di Bank karena koneksi pertemanan
Mas Indra luas sekali, sehingga dengan mudah dia mendapat pekerjaan. Sementara
aku masih menunggu untuk wawancara perusahaan dari Jakarta. Aku mendaftar staff
pemasaran pada produk makanan dari perusahaan tersebut. Sedangkan Mas Indra
menjadi petugas lapangan di Bank swasta.
Wawancara pun telah aku lakukan dan
diterima di perusahaan tersebut. Aku mulai merantau ke ibukota dengan dilepas
tangisan Ayah dan Ibu di stasiun. Aku menjadi staff dalam divisi pemasaran,
pekerjaan banyak diberikan oleh kepala divisi kepadaku, karena aku cepat dalam
melaksanakan tugas dan tidak pernah mengeluh. Hari demi hari pun aku lalui
dengan semangat, meskipun banyak yang iri dan ingin menjatuhkanku, karena aku
adalah pekerja baru yang langsung disukai pimpinan. Aku hanya memiliki satu
teman disini yang umurnya 5 tahun diatasku, namanya Mbak Citra. Mbak Citra
mempunyai pribadi yang sangat baik dan shalihah. Sehingga saat ini aku
dibimbing olehnya dalam segala hal. Dia tahu aku belum punya banyak uang, jadi
dia selalu mentraktirku saat kami nonton dan makan. Aku ikut kelompok kecil
pengajian Mbak Citra dan teman-temannya. Banyak sekali ilmu agama yang aku
dapatkan melalui kelompok tersebut. Kami sering mengkaji ilmu-ilmu agama tidak
hanya dari satu sumber tetapi dari banyak sumber. Kami kumpul satu minggu
sekali.
Tiba-tiba ibu mengangetkan lamunanku
dengan bertanya,” Apa tadi yang pecah dek?” Dengan ekspresi kaget dan bingung
aku menjawab, “Itu bu, gelasnya gak sengaja jatuh.” Aku membereskan pecahan
gelas tersebut dan segera menyelesaikan project
dari kantor. Segera aku berucap syukur. Hidupku selama ini seperti segelas kopi
kesukaanku, ada pahitnya, ada manisnya, ada enaknya diaduk menjadi satu,
sehingga sangat nikmat untuk diminum. Jika tidak ada pahit dalam hidupku, aku
tidak dapat mensyukuri apa yang manis dan enak dihidupku. Jika tidak ada manis
dalam hidupku, entah aku dapat menjalani atau tidak, seperti kopi tanpa gula
dan creamer, rasanya pahit membuatku tidak sanggup meminumnya.
Setiap 3 bulan sekali aku pulang
ke rumah Ayah dan Ibu pada akhir pekan, lalu kembali lagi merantau, hal
tersebut aku lakukan selama 5 tahun terakhir ini. Yah, menjadi pekerja pabrik
yang sepertinya akan menjadi selamanya karena sudah terlanjur nyaman, setiap 4
tahun kami mengalami kenaikan pangkat yang ditentukan dari kinerja. Dan
sepertinya impianku saat ini telah berganti menjadi pimpinan yang tinggi di
perusahaan tersebut. Ayah dan Ibu sudah menjadi petani yang tenang dan damai
walaupun hanya punya lahan sedikit. Mas Indra sudah mempunyai istri dan anak
laki-laki. Kami bahagia meskipun impian kami tidak sama seperti dulu. Walaupun dalam
secangkir kopi tetap ada pahitnya, itu yang membuat nikmat untuk diminum.
Begitupun hidup kami, tetap terdapat cobaan-cobaan hidup yang harus dihadapi
dan dijalani, akan membuat kami naik level menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Blog
Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com