Senin, 25 September 2017

Belahan Jiwa



Untukmu, Kemi.

Pagi ini masih sama, aku menikmati kabut yang menyelimuti bumi sebelum diusir perlahan oleh sengatan sinar matahari. Kem, terkadang aku mencintaimu dengan cara seperti itu, hadir di pagi butamu walaupun aku harus pergi terusir oleh segala ambisi-ambisimu. Lalu esok hari aku akan kembali lagi kepadamu.

aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari

aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu

pada suatu hari baik nanti.1

                Udara pagi yang menyejukan selalu menemaniku memutar ulang kisah-kisah kita. Kemi, aku masih ingat dengan jelas pertama kali aku melihatmu, pertama kali kamu menyapaku, pertama kali kamu datang kerumahku, pertama kali kita pergi berdua, dan pertama-pertama lainnya. Bagiku, mengenang hal-hal indah dapat membunuh waktu kosong sekaligus memperbarui perasaanku yang kadang terbunuh oleh pertengkaran kecil. Konflik kecil itu akan terselesaikan oleh waktu tanpa kita meneruskan pembicaraan. Lalu keesokan harinya akan kembali seperti biasa dengan caraku mencintaimu.

                Kem, masih ingatkah kamu pertama kita bertemu? Saat itu kamu datang ke ruang meeting di perusahaan mutlinasional tempatku bekerja. Kamu sebagai manager marketing, mempersentasikan detail kontrak kerja yang ditawarkan. Aku saat itu menemani Pak Ramdan, CEO perusahaanku. Sebagai sekertarisnya, aku selalu bersedia mengurus semua keperluan kontrak kerja atas perintah dari atasanku tersebut.

Kamu mempunyai modal untuk “merayu” CEO manapun dengan good looking, smart dan charismatic. Kamu memulai persentasi dengan menindai wajah-wajah yang ada diruang tersebut untuk diambil perhatiaannya. File persentasi yang terdiri dari grafik dan gambar namun sedikit kata didalamnya. Jika tidak salah menghitung, file tersebut terdiri 12 slide dengan hanya 40 kata. Hal itu trick agar pendengar lebih fokus pada penjelasanmu tanpa harus membaca slide yang membosankan. Sedikit berdiskusi denganku, Pak Ramdan menyetujui kontrak kerja yang kamu tawarkan. Selanjutnya, kamu hanya akan banyak berhubungan denganku dan tidak lagi dengan Pak Ramdan.

Selama 11 bulan, aku mengerti bahwa kita sama-sama menjaga profesionalitas kerja. Kita saling memperhatikan, kita saling bicara lewat bahasa hati. Aku memandangimu saat melangkah meninggalkanku. Kuhitung sampai 3, lalu kamu menoleh kearahku hanya untuk senyum kadang melambaikan tangan. Aku malu pada saat-saat seperti itu, aku pura-pura melihat kearah lain untuk kemudian membalas senyummu. Kita mengabaikan urusan pribadi walaupun sudah tidak di jam kerja karena takut dikira “bekerjasama” yang akan menghancurkan karier kita. Dihari yang sama saat kontrak kerja antar perusahaan kita selesai, suaramu dengan nada agak bergetar bertanya nomer hp, karena selama ini kita berhubungan lewat email perusahaan dan telepon perusahaan.

“Eh Bu Firly, boleh minta nomer hpmu?”

Dengan gugup aku menuliskan nomerku di kertas. “Ini Pak Kemi.”

Lalu hari hari kita dipenuhi dengan canda dan ceria khas pendekatan 2 orang manusia lewat chat, video call, atau voice note. Kemi, sungguh kedatanganmu merubah hidupku menjadi penuh dengan kebahagiaan walaupun terkadang kita saling membuat menunggu yang lain karena kesibukan yang kadang bersebrangan waktunya. Bukankah setelah menahan rasa rindu dan menunggu, kita akan menuntaskan dengan sempurna.

Kem, aku suka semuanya tentangmu. Aku suka saat kamu sibuk bekerja di depan laptop berkutat dengan data. Aku suka caramu memandangku. Aku senang saat kita berbicara serius mendiskusikan pekerjaanmu bahkan saat leluconmu sangat garing lalu aku bisa meledekmu sesukaku. Aku suka menertawakan ketawamu yang menurutku gak beralasan. Aku terlalu tenggelam kedalam dirimu dan tak bisa berpaling kelain hati walaupun banyak yang menawakan cinta dan kehidupan mendatang yang terlihat lebih indah.

Kisah kita tidak hanya dibumbui dengan kebahagiaan namun perdebatan, pertengkaran, kecemburuan, dsb. Kemi, aku sungguh ingin menghabiskan malam dengan mengobrol di pinggir pantai, aku ingin mendaki gunung bersamamu, aku ingin melakukan apa yang biasa dilakukan pemuda yang sudah matang dan mapan dalam menjalin cinta. Namun kita sama-sama tahu bahwa laki-laki dan perempuan ada batasnya, nyatanya kita tidak pernah bertemu dengan durasi sangat lama. Sedihnya, kita sering melanggar batas agama kita dengan pergi berdua walaupun kamu tidak pernah menyentuhku, salaman saja tidak pernah.  Kamu tidak pernah memintaku menjadi pacarmu, namun kamu meyakinkanku bahwa hatimu hanya untukku.

Sudah 5 bulan sejak pertama kali kamu meghubungiku lewat Whatsapp. Aku ingin menghalalkan hubungan kita. Aku menunggu kamu memintaku menjadi istrimu. Yang diharapkan tidak kunjung terjadi, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadamu rencana kedepan kita berdua. Namun, kamu membuatku sangat kecewa, ambisimu sangat besar dalam mengejar karier dan kemapanan sehingga kamu tidak berani berspekulasi dengan kehidupan rumah tangga dalam waktu dekat ini. Aku menyerah berdebat denganmu. Aku melakukan itu agar kita tidak semakin lama menimbulkan fitnah dan menabung dosa. Kamu tidak bisa menerima semuanya, kamu terlalu rasional dalam mempersiapkan kehidupan rumah tangga yang serba sempurna. Ada rasa tidak yakin terhadapmu, namun disisi lain aku selalu ingin memperjuangkan hubungan tanpa status kita. Akan tetapi, kita berbeda orientasi dan prinsip dalam kehidupan ini. Aku tipe orang yang, “ya udah dijalani dulu” alias pemikiran jangka pendek, sedangkan kamu selalu memikirkan setahun kemudian, sepuluh tahun kemudian, bahkan usia tuamu sudah kamu persiapkan dari sekarang. Aku seperti berada pada kisah perjuangan Sena untuk Keara walaupun masa depan terlihat tidak mendukung bagi kisah mereka berdua.

“Jika keara memang bukan jodohku, aku tidak apa-apa. Paling tidak. aku sudah membuat dia jadi jodohku. Paling tidak, aku memperjuangkan perasaanku.”2

Apakah aku akan memperjuangkanmu seperti itu, dalam ketidakpastianmu, segala ambisimu, perbedaan kita? Sejak saat pertengkatan terbesar kita tersebut, kita saling diam tanpa kabar selama hampir sebulan. Namun kita sama-sama kalah dengan keadaan, kamu tidak sengaja menelponku, lalu obrolan kita dimulai lagi dari itu. Kita tidak membahas hal yang membuat hari-hari kita sepi, pikiran kita terpecah selama hampir sebulan. Lalu, diam-diam aku mengamini pemikiran Sena tentang memperjuangkan Keara. Aku akan memperjuangkanmu.

Aku tahu semakin kita pendam, permasalahan tersebut dapat muncul dengan tiba-tiba. Dalam sebulan tersebut aku selalu memikirkan, apakah kita dapat bahagia menua bersama dalam perbedaan prinsip? Apakah kamu benar-benar mencintaiku sementara kamu tidak mau mengalahkan ambisi-ambisi dan sifat yang perfeksionis tersebut? Apakah kamu benar-benar belahan jiwaku? Aku juga yakin kamu memikirkan hal yang sama denganku.

Imaginasimu tentang belahan jiwa selalu terlalu sederhana. Di tepi pantai, kau selalu mengandaikan ada seseorang lainnya di seberang lautan yang tengah menunggumu untuk berlayar. Di saat yang sama, kadang kau yang ragu sering kali juga hanya “menunggu”, sambil mendambakan seseorang yang kau nantikan itu akan lebih dulu merakit sampannya, mengayun dayungnya, mengarahkan kompasnya.

Lalu kau membayangkan “berjodoh” sebagai sebuah pertemuan dua orang itu, di tepi laut tempat kau menanti, atau di pantai tempat ia mengharap, atau di antaranya ketika kalian sama-sama tak bisa menunggu dan saling berusaha mengalahkan waktu.

Tetapi, laut, ombak, dan dalamnya, selalu menjadi misteri dan tak terduga-duga, bukan? Orang yang kau sangka “belahan jiwa” sering kali hanya semacam perantara, atau bahkan pengalih perhatian dari belahan jiwamu yang sesungguhnya.

Lalu kepada siapakah seharusnya kita menambatkan sauh? Di manakah semestinya kita meninggalkan kompas? Kapankah kita perlu menantang nasib, garis tangan dan rasi bintang?2

                Dalam pasang surut hubungan kita, aku tidak sanggup lagi terlalu jauh menjalani hubungan yang dapat memupuk dosa dan dapat menimbulkan fitnah. Dengan berat hati, aku melepasmu agar terbang setinggi mungkin. Aku tidak akan menjadi penghalang dan pengganggumu. Berlayarlah sampai kamu menemukan apa yang kamu cari. Aku akan selalu mendoakanmu dan mengenangmu saat bumi masih gelap tertutupi kabut pagi. Aku menyerah! Aku akan menunggu hati baru yang mau serius menjalani rumah tangga dengan sederhana dan bermanfaat bagi sesama.

Kemi, terimakasih atas kisah ini. Satu yang perlu kamu ketahui, aku tidak pernah menyesal dapat mengenalmu dengan sangat jauh. Kemi, kisah kita akan kusimpan dalam ruang hati yang gelap tersembunyi. Kemi, aku sangat mencintaimu dulu, kemarin, hingga saat ini! Esok? Biarlah menjadi rahasia. 
                                                  

⧭⧭⧭







1. Sapardi Djoko Darmono, “Seperti Kabut” dalam Fadh Pahdepie, “Jodoh”
2. Fadh Pahdepie, “Jodoh”
sumber gambar: www.showbiz.liputan6.com


Nb: diatas cerpen dibuat setelah baca Novel “Jodoh” karya Fadh Pahdepie. Novelnya keren, recommended buat dibaca, beda ceritanya sama cerpen ini. Cocok buat yang sedang jatuh cinta bahkan buat yang masih bingung memaknai tentang Jodoh dan Belahan Jiwa. Thanks for reading, ditunggu testimoni, kritik dan sarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar