Untukmu, Kemi.
Pagi ini masih
sama, aku menikmati kabut yang menyelimuti bumi sebelum diusir perlahan oleh
sengatan sinar matahari. Kem, terkadang aku mencintaimu dengan cara seperti
itu, hadir di pagi butamu walaupun aku harus pergi terusir oleh segala
ambisi-ambisimu. Lalu esok hari aku akan kembali lagi kepadamu.
aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya
matahari
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki
bukit
agar bisa menghujanimu
pada suatu hari baik
nanti.1
Udara
pagi yang menyejukan selalu menemaniku memutar ulang kisah-kisah kita. Kemi,
aku masih ingat dengan jelas pertama kali aku melihatmu, pertama kali kamu
menyapaku, pertama kali kamu datang kerumahku, pertama kali kita pergi berdua,
dan pertama-pertama lainnya. Bagiku, mengenang hal-hal indah dapat membunuh waktu
kosong sekaligus memperbarui perasaanku yang kadang terbunuh oleh pertengkaran
kecil. Konflik kecil itu akan terselesaikan oleh waktu tanpa kita meneruskan
pembicaraan. Lalu keesokan harinya akan kembali seperti biasa dengan caraku
mencintaimu.
Kem,
masih ingatkah kamu pertama kita bertemu? Saat itu kamu datang ke ruang meeting
di perusahaan mutlinasional tempatku bekerja. Kamu sebagai manager marketing,
mempersentasikan detail kontrak kerja yang ditawarkan. Aku saat itu menemani
Pak Ramdan, CEO perusahaanku. Sebagai sekertarisnya, aku selalu bersedia
mengurus semua keperluan kontrak kerja atas perintah dari atasanku tersebut.
Kamu mempunyai
modal untuk “merayu” CEO manapun dengan good looking, smart dan charismatic.
Kamu memulai persentasi dengan menindai wajah-wajah yang ada diruang tersebut
untuk diambil perhatiaannya. File persentasi yang terdiri dari grafik dan
gambar namun sedikit kata didalamnya. Jika tidak salah menghitung, file
tersebut terdiri 12 slide dengan hanya 40 kata. Hal itu trick agar pendengar
lebih fokus pada penjelasanmu tanpa harus membaca slide yang membosankan.
Sedikit berdiskusi denganku, Pak Ramdan menyetujui kontrak kerja yang kamu
tawarkan. Selanjutnya, kamu hanya akan banyak berhubungan denganku dan tidak
lagi dengan Pak Ramdan.
Selama 11
bulan, aku mengerti bahwa kita sama-sama menjaga profesionalitas kerja. Kita
saling memperhatikan, kita saling bicara lewat bahasa hati. Aku memandangimu
saat melangkah meninggalkanku. Kuhitung sampai 3, lalu kamu menoleh kearahku
hanya untuk senyum kadang melambaikan tangan. Aku malu pada saat-saat seperti
itu, aku pura-pura melihat kearah lain untuk kemudian membalas senyummu. Kita
mengabaikan urusan pribadi walaupun sudah tidak di jam kerja karena takut
dikira “bekerjasama” yang akan menghancurkan karier kita. Dihari yang sama saat
kontrak kerja antar perusahaan kita selesai, suaramu dengan nada agak bergetar
bertanya nomer hp, karena selama ini kita berhubungan lewat email perusahaan
dan telepon perusahaan.
“Eh Bu Firly,
boleh minta nomer hpmu?”
Dengan gugup
aku menuliskan nomerku di kertas. “Ini Pak Kemi.”
Lalu hari hari
kita dipenuhi dengan canda dan ceria khas pendekatan 2 orang manusia lewat
chat, video call, atau voice note. Kemi, sungguh kedatanganmu merubah hidupku
menjadi penuh dengan kebahagiaan walaupun terkadang kita saling membuat
menunggu yang lain karena kesibukan yang kadang bersebrangan waktunya. Bukankah
setelah menahan rasa rindu dan menunggu, kita akan menuntaskan dengan sempurna.
Kem, aku suka
semuanya tentangmu. Aku suka saat kamu sibuk bekerja di depan laptop berkutat
dengan data. Aku suka caramu memandangku. Aku senang saat kita berbicara serius
mendiskusikan pekerjaanmu bahkan saat leluconmu sangat garing lalu aku bisa
meledekmu sesukaku. Aku suka menertawakan ketawamu yang menurutku gak
beralasan. Aku terlalu tenggelam kedalam dirimu dan tak bisa berpaling kelain
hati walaupun banyak yang menawakan cinta dan kehidupan mendatang yang terlihat
lebih indah.
Kisah kita
tidak hanya dibumbui dengan kebahagiaan namun perdebatan, pertengkaran,
kecemburuan, dsb. Kemi, aku sungguh ingin menghabiskan malam dengan mengobrol
di pinggir pantai, aku ingin mendaki gunung bersamamu, aku ingin melakukan apa
yang biasa dilakukan pemuda yang sudah matang dan mapan dalam menjalin cinta.
Namun kita sama-sama tahu bahwa laki-laki dan perempuan ada batasnya, nyatanya
kita tidak pernah bertemu dengan durasi sangat lama. Sedihnya, kita sering
melanggar batas agama kita dengan pergi berdua walaupun kamu tidak pernah
menyentuhku, salaman saja tidak pernah.
Kamu tidak pernah memintaku menjadi pacarmu, namun kamu meyakinkanku
bahwa hatimu hanya untukku.
Sudah 5 bulan
sejak pertama kali kamu meghubungiku lewat Whatsapp. Aku ingin menghalalkan
hubungan kita. Aku menunggu kamu memintaku menjadi istrimu. Yang diharapkan
tidak kunjung terjadi, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadamu rencana
kedepan kita berdua. Namun, kamu membuatku sangat kecewa, ambisimu sangat besar
dalam mengejar karier dan kemapanan sehingga kamu tidak berani berspekulasi
dengan kehidupan rumah tangga dalam waktu dekat ini. Aku menyerah berdebat
denganmu. Aku melakukan itu agar kita tidak semakin lama menimbulkan fitnah dan
menabung dosa. Kamu tidak bisa menerima semuanya, kamu terlalu rasional dalam
mempersiapkan kehidupan rumah tangga yang serba sempurna. Ada rasa tidak yakin
terhadapmu, namun disisi lain aku selalu ingin memperjuangkan hubungan tanpa
status kita. Akan tetapi, kita berbeda orientasi dan prinsip dalam kehidupan
ini. Aku tipe orang yang, “ya udah dijalani dulu” alias pemikiran jangka
pendek, sedangkan kamu selalu memikirkan setahun kemudian, sepuluh tahun
kemudian, bahkan usia tuamu sudah kamu persiapkan dari sekarang. Aku seperti
berada pada kisah perjuangan Sena untuk Keara walaupun masa depan terlihat
tidak mendukung bagi kisah mereka berdua.
“Jika keara memang bukan jodohku, aku tidak apa-apa. Paling tidak. aku
sudah membuat dia jadi jodohku. Paling tidak, aku memperjuangkan perasaanku.”2
Apakah aku
akan memperjuangkanmu seperti itu, dalam ketidakpastianmu, segala ambisimu,
perbedaan kita? Sejak saat pertengkatan terbesar kita tersebut, kita saling
diam tanpa kabar selama hampir sebulan. Namun kita sama-sama kalah dengan
keadaan, kamu tidak sengaja menelponku, lalu obrolan kita dimulai lagi dari
itu. Kita tidak membahas hal yang membuat hari-hari kita sepi, pikiran kita
terpecah selama hampir sebulan. Lalu, diam-diam aku mengamini pemikiran Sena
tentang memperjuangkan Keara. Aku akan memperjuangkanmu.
Aku tahu
semakin kita pendam, permasalahan tersebut dapat muncul dengan tiba-tiba. Dalam
sebulan tersebut aku selalu memikirkan, apakah kita dapat bahagia menua bersama
dalam perbedaan prinsip? Apakah kamu benar-benar mencintaiku sementara kamu
tidak mau mengalahkan ambisi-ambisi dan sifat yang perfeksionis tersebut?
Apakah kamu benar-benar belahan jiwaku? Aku juga yakin kamu memikirkan hal yang
sama denganku.
Imaginasimu tentang belahan jiwa selalu terlalu sederhana. Di tepi
pantai, kau selalu mengandaikan ada seseorang lainnya di seberang lautan yang
tengah menunggumu untuk berlayar. Di saat yang sama, kadang kau yang ragu
sering kali juga hanya “menunggu”, sambil mendambakan seseorang yang kau
nantikan itu akan lebih dulu merakit sampannya, mengayun dayungnya, mengarahkan
kompasnya.
Lalu kau membayangkan “berjodoh” sebagai sebuah pertemuan dua orang
itu, di tepi laut tempat kau menanti, atau di pantai tempat ia mengharap, atau
di antaranya ketika kalian sama-sama tak bisa menunggu dan saling berusaha
mengalahkan waktu.
Tetapi, laut, ombak,
dan dalamnya, selalu menjadi misteri dan tak terduga-duga, bukan? Orang yang
kau sangka “belahan jiwa” sering kali hanya semacam perantara, atau bahkan
pengalih perhatian dari belahan jiwamu yang sesungguhnya.
Lalu kepada siapakah
seharusnya kita menambatkan sauh? Di manakah semestinya kita meninggalkan
kompas? Kapankah kita perlu menantang nasib, garis tangan dan rasi bintang?2
Dalam
pasang surut hubungan kita, aku tidak sanggup lagi terlalu jauh menjalani
hubungan yang dapat memupuk dosa dan dapat menimbulkan fitnah. Dengan berat
hati, aku melepasmu agar terbang setinggi mungkin. Aku tidak akan menjadi
penghalang dan pengganggumu. Berlayarlah sampai kamu menemukan apa yang kamu
cari. Aku akan selalu mendoakanmu dan mengenangmu saat bumi masih gelap tertutupi
kabut pagi. Aku menyerah! Aku akan menunggu hati baru yang mau serius menjalani
rumah tangga dengan sederhana dan bermanfaat bagi sesama.
Kemi,
terimakasih atas kisah ini. Satu yang perlu kamu ketahui, aku tidak pernah
menyesal dapat mengenalmu dengan sangat jauh. Kemi, kisah kita akan kusimpan
dalam ruang hati yang gelap tersembunyi. Kemi, aku sangat mencintaimu dulu,
kemarin, hingga saat ini! Esok? Biarlah menjadi rahasia.
⧭⧭⧭
1. Sapardi Djoko Darmono, “Seperti Kabut” dalam
Fadh Pahdepie, “Jodoh”
2. Fadh Pahdepie, “Jodoh”
sumber gambar: www.showbiz.liputan6.com
Nb: diatas cerpen dibuat
setelah baca Novel “Jodoh” karya Fadh Pahdepie. Novelnya keren, recommended
buat dibaca, beda ceritanya sama cerpen ini. Cocok buat yang sedang jatuh cinta
bahkan buat yang masih bingung memaknai tentang Jodoh dan Belahan Jiwa. Thanks
for reading, ditunggu testimoni, kritik dan sarannya.