Tangisan, entah tangisan kebahagiaan atau kesedihan banyak beliau tujukan kepadaku. Waktu diriku sakit, waktu pulang dari Jakarta, waktu pergi lagi ke Jakarta, waktu datang dari Sulawesi, waktu pergi lagi ke Sulawesi. Hingga beberapa jam sebelum ia meninggal, ia masih meneteskan air mata ketika video call, walaupun badan sudah kaku, nafas tidak beraturan, ia yang saya yakin saat itu merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya yang sudah sangat kecil karena sakit, ia berjuang untuk tetap hidup, yang mungkin tanpa terucap masih mengharapakan melihat kebahagiaanku. Ia yang selalu penasaran, ketika aku pergi lagi merantau bertanya, “Kapan muleh eneh?” (kapan pulang lagi). Hingga diri ini sudah hafal, saat ia sudah tidak bisa bicara, aku selalu bilang, kapan rencana kepulanganku. Ternyata 3 hari di bulan Maret 2020, menjadi waktu terakhirku bersama beliau. Dan janji untuk pulang lebaran tidak bisa saya tepati bahkan dihari ia mengahap Tuhan yang sangat ia rindukan saya tidak bisa hadir. :”
3 Maret 12.06 WITA, aku limbung. Aku bingung menghubungi sana sini untuk kepulanganku menghadiri kepulangan beliau kepada Allah SWT. Menghubungi orang kantor, menghubungi petugas bandara yang saya kenal, menghubungi 2 maskapai penerbangan, menghubungi call center bandara, hingga mungkin entah sudah keberapa kali saya menelfon, dan akhirnya tidak mendapat respon atau responnya penolakan. Setelah gagal menghubungi, saya niatkan untuk tetap pergi, lalu saya mencari syarat-syarat melintas daerah dan naik pesawat. Datang ke 4 rumah sakit, 1 puskesmas, 1 dokter umum, tapi semua tidak dapat memberikan surat berbadan sehat karena sudah tutup pelayanan atau tidak bisa ngasih tanpa rapit test. Sangat limbung, bicara dengan pertugas kesehatan sambil menangis, tau kan ya suaranya jadi gimana.. tapi tetap tidak bisa, saya tidak mendapat syarat yang dibutuhkan. Kepulangan gagal, kegagalan yang membuat saya menangis hingga air mata sudah tidak terhitung lagi.
Di hari yang ia tunggu-tunggu berangkat ke alam barzah, bersama kasih sayang Allah SWT, saya tidak dapat hadir. Hal yang saya yakini, ini adalah yang terbaik untuk beliau dari Allah SWT, Sudah tidak merasakan bagaimana sakitnya tidak bisa bergerak, makan harus melalui selang, sering sesak nafas, badan sudah banyak lecet karena kebanyakan tidur, tidak tidur hanya sekitar 4 jam sehari. Malam sebelum meninggal, ia sudah tidak bisa bergerak seperti biasanya, ketika saya telfon, matanya sudah naik keatas dan menangis. Lalu saya membacakan ayat-ayat suci, yang itu menjadi bacaan yang beliau saksikan langsung dari telfon. Setelahnya hanya kiriman, yang semoga ia merasakan bahwa cucunya ini masih mengirimkan hal-hal baik untuknya.
Waktu memang tidak pernah bisa diperpanjang maupun diperpendek. Aku yakin semua yang terjadi ini adalah yang terbaik, meskipun menjadi pukulan telak bagi keluarga kami. Qadarullah, takdir Allah SWT yang terbaik untuk kami semua. Saya mengikhlaskan apa yang telah terjadi, kematian beliau, kegagalan saya pulang, kenyataan bahwa ditempat saya merantau ini, sangat panjang perjalanan untuk pulang, kenyataan bahwa corona virus dan semua peraturan yang ada membuat saya tidak bisa pulang, kenyataan bahwa uang tidak setimpal dengan kehadiran, kenyataan bahwa rejeki bisa tinggal bersama keluarga adalah tidak ternilai, unvalueable, tidak terukur oleh apapun, kenyataan bahwa saat pulang nanti saya tidak bisa melihatnya di kamar, hal yang saya datangi ketika pulang adalah ke kamar beliau, mencari beliau.
Ditulis 3/6/2020 01:25 WITA