Selasa, 26 Januari 2021

Simbok Part 2

Tangisan, entah tangisan kebahagiaan atau kesedihan banyak beliau tujukan kepadaku. Waktu diriku sakit, waktu pulang dari Jakarta, waktu pergi lagi ke Jakarta, waktu datang dari Sulawesi, waktu pergi lagi ke Sulawesi. Hingga beberapa jam sebelum ia meninggal, ia masih meneteskan air mata ketika video call, walaupun badan sudah kaku, nafas tidak beraturan, ia yang saya yakin saat itu merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya yang sudah sangat kecil karena sakit, ia berjuang untuk tetap hidup, yang mungkin tanpa terucap masih mengharapakan melihat kebahagiaanku. Ia yang selalu penasaran, ketika aku pergi lagi merantau bertanya, “Kapan muleh eneh?” (kapan pulang lagi). Hingga diri ini sudah hafal, saat ia sudah tidak bisa bicara, aku selalu bilang, kapan rencana kepulanganku. Ternyata 3 hari di bulan Maret 2020, menjadi waktu terakhirku bersama beliau. Dan janji untuk pulang lebaran tidak bisa saya tepati bahkan dihari ia mengahap Tuhan yang sangat ia rindukan saya tidak bisa hadir. :”



3 Maret 12.06 WITA, aku limbung. Aku bingung menghubungi sana sini untuk kepulanganku menghadiri kepulangan beliau kepada Allah SWT. Menghubungi orang kantor, menghubungi petugas bandara yang saya kenal, menghubungi 2 maskapai penerbangan, menghubungi call center bandara, hingga mungkin entah sudah keberapa kali saya menelfon, dan akhirnya tidak mendapat respon atau responnya penolakan. Setelah gagal menghubungi, saya niatkan untuk tetap pergi, lalu saya mencari syarat-syarat melintas daerah dan naik pesawat. Datang ke 4 rumah sakit, 1 puskesmas, 1 dokter umum, tapi semua tidak dapat memberikan surat berbadan sehat karena sudah tutup pelayanan atau tidak bisa ngasih tanpa rapit test. Sangat limbung, bicara dengan pertugas kesehatan sambil menangis, tau kan ya suaranya jadi gimana.. tapi tetap tidak bisa, saya tidak mendapat syarat yang dibutuhkan.  Kepulangan gagal, kegagalan yang membuat saya menangis hingga air mata sudah tidak terhitung lagi.

Di hari yang ia tunggu-tunggu berangkat ke alam barzah, bersama kasih sayang Allah SWT, saya tidak dapat hadir. Hal yang saya yakini, ini adalah yang terbaik untuk beliau dari Allah SWT, Sudah tidak merasakan bagaimana sakitnya tidak bisa bergerak, makan harus melalui selang, sering sesak nafas, badan sudah banyak lecet karena kebanyakan tidur, tidak tidur hanya sekitar 4 jam sehari. Malam sebelum meninggal, ia sudah tidak bisa bergerak seperti biasanya, ketika saya telfon, matanya sudah naik keatas dan menangis. Lalu saya membacakan ayat-ayat suci, yang itu menjadi bacaan yang beliau saksikan langsung dari telfon. Setelahnya hanya kiriman, yang semoga ia merasakan bahwa cucunya ini masih mengirimkan hal-hal baik untuknya.

Waktu memang tidak pernah bisa diperpanjang maupun diperpendek. Aku yakin semua yang terjadi ini adalah yang terbaik, meskipun menjadi pukulan telak bagi keluarga kami. Qadarullah, takdir Allah SWT yang terbaik untuk kami semua. Saya mengikhlaskan apa yang telah terjadi, kematian beliau, kegagalan saya pulang, kenyataan bahwa ditempat saya merantau ini, sangat panjang perjalanan untuk pulang, kenyataan bahwa corona virus dan semua peraturan yang ada membuat saya tidak bisa pulang, kenyataan bahwa uang tidak setimpal dengan kehadiran, kenyataan bahwa rejeki bisa tinggal bersama keluarga adalah tidak ternilai, unvalueable, tidak terukur oleh apapun, kenyataan bahwa saat pulang nanti saya tidak bisa melihatnya di kamar, hal yang saya datangi ketika pulang adalah ke kamar beliau, mencari beliau.


Ditulis 3/6/2020 01:25 WITA

Simbok Part 1


Sekitar 12 jam yang lalu, menunjukan pukul 13.06 WITA, waktu terasa terhenti, aku menangis seperti sebagian hatiku terenggut. Simbok meninggal.

Ibu, dalam bahasa jawa simbok artinya Ibu. Memang nenekku ini seperti Ibu kedua bagiku, yang menjagaku waktu kecil, memberikan value-value baik, mengajari untuk taat dan disiplin dalam beribadah. Masih lekat difikiranku, bagaimana beliau setiap hari membangunkanku sebelum adzan subuh berkumandang, sesaat sebelum ia berangkat ke masjid. Ya, ia sangat rajin sekali ke Masjid untuk sholat dan terkadang menyediakanku tempat di sampingnya. Masih lekat difikiranku, bagaimana ia mengajarkanku untuk disiplin mencari ilmu agama, melalui semangatnya aku meniru, beliau mengajariku ilmu yang didapat dipengajian ketika saya melewatkan untuk hadir. Walaupun tidak bisa membaca, setiap dikasih kertas doa/ringkasan, beliau bawakan untuk ku, “yo piye aku ra isoh moco, iki mau dikei ustadz(…).”



Tidak hanya ilmu agama beliau ajarkan, banyak, masih banyak lagi. Management waktu, tidak disangka banyak sekali aku belajar darinya, bahwa kegiatan perlu di susun agendanya, tidak boleh mleset. Setelah merantau ke Jakarta baru aku menyadari bahwa aku menirunya, waktu menjadi sangat penting dan aku benci jika tidak tepat. Sebelum merantau aku tidak mengerti, “kenapa harus sekarang? Kenapa tidak nanti saja? Kenapa harus langsung berangkat?” Dan banyak kenapanya, hingga aku sering membuatnya jengkel, ( I am sorry for that) maafkan aku telat memahamimu. Difikiranku kala itu yang belum matang, banyak bersliweran kenapa, akhirnya aku mengabaikan bahwa agendamu sudah tersusun sedemikian rupa supaya tidak menganggu waktu ibadah dan waktu-waktu lainnya.

Melauinya aku juga belajar mengelola keuangan, tidak mengeluarkan uang kecuali untuk kebutuhan. Untuk porsi keinginan sangat kecil sekali. Walaupun seketat itu ia menjaga keuangan jika untuk diriku, ia berikan banyak sekali. Masih lekat difikiranku, ia memberiku uang untuk banyak hal pertama di hidupku, ketika aku pertama mencari SIM, ketika pertama aku pergi kuliah, ketika pertama aku piknik bersama teman-teman sekolah. Ya semurah itu ia kepadaku, yang tidak dilakukan untuk cucunya yang lain, bahkan anaknya. Ya aku belajar banyak dari Ibu dan Simbok mengenai management keuangan ini, hingga kini setelah financial check up, semua sehat kecuali untuk pos asset, karena keuangan masih difokuskan untuk tabungan menikah dan memulai rumah tangga. Ya, memulai rumah tangga, ia belum sempat mendengarkan kabar baik dariku, yang selama ini curhatnya ke beliau masih seputaran galau belum menikah.

Aku saat ini, dipenuhi oleh value-value yang beliau miliki. Bagaimana ia rajin sekali mengurusi masalah pekerjaan rumah tangga. Matahari belum menunjukan pancarannya, ia sudah selesai dengan mencuci piring, yang kami semua gunakan dari setelah ashar hingga subuh. Jika dilarang, wah sangat tidak bisa, agenda habis subuh beliau tidak tidur, tapi aktif beraktifitas. Masih lekat di fikiranku, bagaimana ia membagi pekerjaan kepadaku sebelum aku sibuk mengejar pendidikan di SMA, sore adalah waktuku mencuci piring, yang sudah banyak digantikan oleh beliau. Kamarnya punya sapu khusus, selalu dalam keadaan bersih. Setiap hari mencuci baju dengan tangan, padahal sudah kami larang, karena ada mesin cuci. Setelah kering langsung dilipat, jadi tidak banyak yang perlu di setlika, jika ada beliau menitipkan kepadaku untuk disetlika, hanya baju untuk pergi, entah arisan atau pengajian (waktu SMA jobdeskku dirumah jadi menyetlika, dan sisanya dihandle Simbok).

Ditulis 3/6/2020 pukul 12.58 AM

Hampir 2 Tahun di Palopo

 Gak nyangka yaa, udah mau 2 tahun di Palopo.. (hmm, bisanya bilang ga nyangka yaa)

Dari hari hari adaptasi dan sampai hari inipun masih adaptasi, diingetin circle kalau lagi curhat, walaupun beberapa kali hari dipenuhi dengan tangisan, tapi lebih banyak hari dilalui dengan tenang. Ya gimana lah caramu bersyukur.

Tempat bertumbuh, mengenali diri sendiri, dan hingga hari ini ada banyak yang bisa dikendalikan namun masih berusaha mengendalikan lebih banyak lagi gejolak dalam diri.

Dari awalnya ketemu orang-orang baik, kemudian seiring berjalan waktu, kadang yang baik menampakkan sikapnya yang asli atau emang dari awal ketemu dengan yang kurang cocok. Sebagai manusia yang baru berusaha mendewasa, sebagai bahan pelajaran bahwa seperti diri kita tidak menyukai semua orang, orang lain pun tidak semua menyukai kita.


Diri, terimakasih sudah menjalani hari dengan maksimal setiap harinya, menganggap ujian sebagai tantangan setiap harinya bukan musibah atau hukuman.

Lebih berat daripada di klaten dan di Jakarta. Ya pasti, setiap hari berganti, akan naik tantangan yang Allah SWT berikan, tanda bahwa kita sudah lulus diujian pada level yang dulu. Jadi, kamu, jangan berharap kehidupan kedepan akan lebih mudahh, oo tidak begitu konsepnya.

Disini, ngingetin banyak hal, disini nemu banyak hal sekaligus kehilangan banyak hal. Wajar, begitulah kehidupan, ada yang datang dan pergi. Harusnya gimana, harusnya diterima dan menatap kedepan.

Tidak beraturan, seperti tulisan ini, yang terlintas tertulis. Kehidupan juga kadang ga sesuai dengan planning. Yang naturalnya diriku tidak suka dengan yang diluar planning, dadakan, merusak planning, dst. Tapi, aku mulai memahami diri, lalu mengendalikannya, perlu waktu mengendalikan emosi, hitungan menit bahkan jam, yaa tidak apa-apa. Yang penting berusaha bersikap sebaik mungkin.

Akhir-akhir ini baru sadar bahwa dominannya koleris, ada plegmatis juga. Mulai mempelajari watak, goalnya mengurangi stress menghadapi orang lain. Ya walaupun nanti muncul stress-stress yang lain, ya biar lebih pantas lah naik ke tangga yang lebih tinggi.

Ngedengerin orang, kebiasaan baru yang ternyata membawa banyak mindset positive. Mulai menyeimbangkan hidup, antara diajak kerja rodi sambil di service dengan hal-hal terbaik, seperti makanan terbaik (sehat), aktivitas terbaik (tidur cukup, olahraga, dsb), tempat terbaik (bersih, rapi)

Sebenernya dimanapun saya ga ngubah cara hidup, sama aja, tetep milih yang sederhana, simple dan tidak glamour. Setiap hari afirmasi ke diri supaya hati terpaut dengan akhirat bukan ke dunia. Capek, ga ada selesainya, ga ada puas kalau ngejar dunia. Hidup cukup, mengantungkan cita-cita dan menyerahkannya ke Allah SWT saja.

Banyakin bersyukur, gitulah kehidupannya abdi negara, tidak banyak menuntut dan dipaksa harus cukup.